host gator coupons Materi Drama

Kamis, 09 Oktober 2014

Kamis, 01 Desember 2011

KEBO NYUSU GUDEL


(Naskah lakon satu babak)
Dheny Jatmiko
Pelaku:
Kakek    :  Seorang kakek umur 80 tahun yang selalu terbayang-bayang peristiwa masa lalunya.
Bapak    : Seorang lelaki pekerja kantoran.
Ibu         : Ibu rumah tangga.
Anak      : Anak berumur 10 tahun.
***
Terdengar musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan lampu oranye yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga, seorang kakek bersantai di kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai sarung, peci, sambil nembang megatruh.
Megatruh

niki wancine sukma sampun kasebut
saking dzat akarti bumi
sampun wanci dipun suwun
tan janji sakniki ugi
baline sadaya lakon

Tembang megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh, seperti suara demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek  panik, mengambil sapu dan membawanya seolah membawa senapan.
Kakek    : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap. Bangun kalian semua.
Muncul seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena  bangun tidur.
Bapak    : Ada apa lagi, kek? Malam-malam begini bikin ribut?
Ibu         : Ada apa to, kek?
Kakek    : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian tidak mendengar ada demo. Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus waspada. (Berlagak seperti komandan) Kalian berjaga di pos sebelah sana. Biar aku awasi yang sebelah sini (mengambil kursi kecil dan berdiri di atasnya). Cepaaat!
Anak      : Siap, komandan!
Bapak, Ibu & Anak bergegas menuju kiri panggung.
Bapak    :  Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?
Ibu         : Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam ini. Paling ini hanya sebentar, dan kita bisa kembali tidur. Lakukan saja. Kalau kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama.
Kakek    : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat militer, jaga dengan kewaspadaan tingkat tinggi.
Anak      : Di sini terlihat aman, kek, eh, ndan!
Kakek    : Meski aman tetap waspada. Cari gembongnya.
Anak      : Siaap.
Kakek    :  Kasihan anak-anak muda itu. Katanya mereka orang-orang yang intelek. Tapi lihat, bicaranya seperti tukang becak. (pada penonton) Dengar kalian semua! Tidak ada gunanya kalian teriak-teriak sampai tenggorokan kering. Lebih baik baca buku yang banyak saja biar bisa mikir lebih jernih, biar tidak dimanfaatkan orang. Masak orang intelek ngomongnya seperti robot. Cuma bisa ngomong: kami butuh makan, turunkan ini, turunkan itu... Kalau cuma ngomong seperti itu, anak umur dua tahun saja bisa.
Bapak    : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita mesti istirahat. Hari sudah larut, kek.
Ibu         : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot sendiri.
Kakek    : (turun dari kursi, duduk dengan malas) Kalian ternyata sama saja dengan orang-orang itu. Semua ini bukan karena salahku. Aku hanya menjelaskan tugas. Semua tugas sudah aku jalankan dengan baik, mulai dari Operasi Sikat, Operasi Burung Sriti, Operasi Galian Malam. Semua sudah kujalankan dengan baik. Terus mengapa mereka masih saja menginginkan aku turun? Mengerti apa mereka dengan situasi ini. Orang-orang seperti mereka dan kamu inilah yang sebenarnya mengacau.
Ibu         : Kakek sudah lelah, lebih baik kakek istirahat. Biarlah di sini kami yang berjaga. (Kakek hanya diam) Percayalah, situasinya di sini bisa kami atasi.
Kakek    : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak tahu, kalau tugas ini sudah selesai, aku memang berencana pensiun. Ini adalah operasi terakhirku. Operasi Sapu Jalan ini adalah pengabdian terakhirku pada negeri ini. Aku juga sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.
Ibu         : (kembali seperti menjadi anak buah kakeknya) Kami tidak berkhianat. Kami tahu apa yang anda butuhkan.
Bapak    : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah menyusahkan, tambah tidak ada gunanya.
Ibu         : Hus, ngomong apa kamu ini. Meskipun begitu, dia juga tetap bapakmu. Orang yang membuatmu ada di dunia ini.
Bapak    : Iya, aku sudah tahu. Tapi aku sangat lelah hari ini. Bujuklah ia agar segera tidur.
Anak      : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.
Kakek    : (kembali bersemangat) Kamu memang perwiraku yang paling bisa diandalkan. Aku pasti akan merekomendasikan kenaikan pangkat buatmu. Tapi, sayang, aku masih punya anak buah yang kerjanya lamban. Inilah yang memperburuk citra tentara.
Anak      : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?
Bapak    : (menjewer anaknya) Sekarang sudah malam, jangan main-main terus.
Kakek    : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang memang harus diberi pelajaran. Bisa nglunjak kalau dibiarkan saja. …
Bapak    : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya harus kerja. Dimas besok juga harus sekolah…
Kakek    : Sekolah?! Sekolah tidak jaminan membuat orang bisa berpikir cerdas. Jangankan berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Apa kau tidak mendengar apa yang diteriakkan orang-orang sok berpendidikan yang berdemo itu. Semuanya hanya omongan yang tidak ada pemikirannya. Terlalu dangkal otak mereka. Lihat orang-orang yang dicat tubuhnya, dijemur sesiangan, dan berteriak ndak karuan itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni macam apa itu, murahan.
Ibu         : Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek?
Bapak    : (pada istrinya) Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan selesaianya. Aku ini sudah capek.
Ibu         : Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama. Lebih baik dilayani biar makin cepat selesai. Aku juga sudah capek, mas.
Bapak    : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti teringat nenek, dan kakek jadi dalang.
Kakek    : Hah, benar. Dalang. Wayang.
Bapak    : Lho, iya, benar kan. Yang ada dalam ingatannya hanya itu-itu saja: tentara dan wayang.
Kakek    : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu seni. Seni kok tidak mengandung budi pekerti. Beda kan dengan wayang yang penuh budi pekerti. Kemari kau Dimas. Kalau kau nanti sudah besar kau harus menjadi orang yang mengerti budi pekerti.
Anak      : Bermain tentara-tentaraannya sudah selesai to, kek?
Kakek    : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Apalagi setelah melihat anak buahku. Mereka itu hanya bisa membanggakan seragamnya, hanya bisa sok jagoan. Mereka sering lupa bahwa mereka itu abdi masyarakat. Yang namanya abdi itu mesti melindungi bukannya sok. Mengamankan demontrasi mahasiswa saja tidak pecus. Masih saja ada yang mati. Akhirnya juga yang kena batu. Berbeda dengan dalang. Dalang selalu menyuguhkan nasehat-nasehat yang filosofis, petuah-petuah yang dibutuhkan masyarakat. (bergaya dalang) Ooo, langit gumbleger, bumi katon kebak geber… ooo (Anak mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-wung plak-plak-plak)
Bapak    : Kakek, sudah malam, tidak baik kalau teriak-teriak, tidak enak sama tetangga.
Kakek    : Inilah contoh orang yang tidak bisa menghargai seni dan budaya. Kalau ketahuan ibumu, pasti kamu akan diomeli sampai pagi.
Bapak    : (menggrundel) Dasar orang pikun.
Kakek    : Lebih baik tidak usah dihiraukan orang macam itu. Ayo kita berkesenian, kita lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?
Anak      : Siap, pak dalang.
Kakek    : Musiiik.
Anak      : (membuat musik dari suaranya) Plak-plak-plak wung-wung-wung plak-plak-plak wung-wung-wung…
Kakek    : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria Anoman malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo) (pada ibu) Ayo gendingnya masuk!
Ibu         : Minta gending apa pak dalang.
Kakek    : Kinanti
Ibu         : Anoman mlumpat sampun
                  prapteng witing nagasari
                  mulat managandap katinngal
                  wanodya ju kuru aking
                  gelung rusak awor kisma
                  ingkang iga-iga keksi

Kakek    :  Luar biasa. Itulah seni.
Bapak    : Hah,  aku sudah sangat capek. (pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau aku tidak tidur, besok aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. Trus kita mau makan apa? Aku sudah muak dengan kondisi ini. (meninggalkan panggung)
Kakek    : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak sopan. Anak tidak ngerti tata krama.
Bapak    : Terserah kata kakek.
Kakek    : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja ibunya tahu, pasti dia dirundung kesedihan. Maafkan aku Martha, istriku, aku tidak bisa menjaga dengan baik anak kita. Tapi kenapa kau mesti pergi begitu cepat.
Anak      : Lho, kakek mengapa bersedih? (kakek hanya diam bersedih)
Ibu terdiam sejenak. Lalu berpura-pura menjadi nenek, istri kakek.
Ibu         : (bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo, suamiku, ada apa?
Kakek    : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.
Ibu         : Ya, namanya juga anak kecil. (memeluk dan mengelus rambut anaknya) Jangan terlalu banyak dipikir. Mas harus segera istirahat. Besok harus segera masuk dinas. Katanya besok ada upacara.
Kakek    : Masalah anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau jadi apa dia nantinya.
Ibu         : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus, aku tidak suka kalau mas sedih terus.
Kakek    : Aku merasa aku telah gagal.
Ibu         : Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas. Aku cinta mas itu karena mas itu optimis, tidak pesimis begini. (kakek masih diam) Kalau sedih begini, mas paling suka kalau aku nembang. Bagaimana kalau aku nyanyikan satu tembang lagi, mas. Dengar ya mas.
Kakek    : Terserah kamu.
Ibu         : Caping Gunung

Dhek jaman berjuang
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi

Jarene wis menang
keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali

Ning gunung tak cadhongi sega jagung
yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung ndesa dadi reja
dene ora ilang nggone padha lara lapa

Anak  menuju kursi panjang dan tertidur, ketika mendengar ibunya menembang.
Kakek    : Suaramu bagaikan pinus diterpa angin, Martha. Begitu lembut, halus, dan menenangkan. Itulah kenapa aku selalu mencintaimu. Kaulah satu-satunya perempuan yang bisa menentramkan hatiku ini.
Ibu         : Aduh, mas Jarwo ini berlebihan, jadi malu aku.
Kakek    :  Ini tidak berlebihan, Martha. Ini kenyataan. Aku selalu terpaku, diam tidak bisa apa-apa, kerena telampau terpikat suara dan kecantikanmu.
Ibu         :  Jika mas sedang bersedih, bukankah sudah selayaknya jika aku menghibur. Apa sekarang mas sudah merasa nyaman?
Kakek    :  Seperti perasaan Danareja seandainya lamarannya diterima Sukesi tanpa membedah Sastra Gendra. Begitulah yang aku rasakan.
Ibu         :  Mas bukanlah Danareja dan aku bukan Dewi Sukesi. Kita adalah suami istri yang tak terpisahkan. Bagai akar dan tanah.
Kakek    :  Hmmm, iya, iya. Hmmm... (seperti berpikir)
Ibu         :  Benar kan, mas?
Kakek    :  Iya, iya.
Ibu         :  Lalu apa yang masih dipikirkan.
Kakek    :  Aku sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?
Ibu         :  Lho gimana to?
Kakek    :  Aku ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?
Ibu         :  Ya, ndak tahu, lha wong yang mikir mas kok tanyanya ke aku.
Kakek    :  Ya, barangkali saja. Selama ini yang bisa mengerti aku kan cuma kamu.
Ibu         :  Entahlah.
Kakek    : (Kekanak-kanakan) Ahh, kalau kamu saja tidak tahu apa yang aku pikirkan, pada siapa lagi mesti aku bertanya?
Ibu         :  (Diam, berpikir. Meraih Kakek) Mungkin mas memikirkan anak kita, apakah kalau sudah besar di bisa sesuai dengan harapan kita.
Kakek    :  (Melihat Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah keturunan dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan sendirinya bisa menjadi orang yang hebat. Tidak. Aku pasti tidak sedang memikirkan anak itu. Keluarga kita baik-baik saja, teramat baik, tidak ada masalah yang perlu memeras otak. Kalaupun ada masalah keluarga hanyalah masalah yang teramat kecil. Dan pikiranku tidak sekecil itu. Aku pasti memikirkan hal yang lebih besar, lebih penting, lebih... ahhh, tapi apa yang sedang aku pikirkan.
Ibu         :  Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas harus menghadiri upacara penghargaan. Nah, kalau kurang istirahat, terus wajah mas masih kusut, apa mas tidak akan malu.
Kakek    :  Benar juga.
Ibu         :  (Terlihat senang) Nah, lebih baik istarahat kan?
Kakek    :  Tapi kepala ini terus saja kebingungan sendiri.
Ibu         :  Mungkin tidur dulu, besok pasti sudah ingat.
Kakek    :  Kalau masih tidak ingat?
Ibu         :  Terserah mas saja. Tapi pikikirkan sekali lagi, acara besok itu penting!
Kakek    :  (Kekanak-kanakan) Aduh, Martha, jangan marah sayang.
Ibu         :  Aku tidak marah, mas. Aku cuma memberi saran. Tapi kalau mas tidak mau ya sudah. Nah, kalau masih loyo seperti ini, apakah Presiden akan merasa bangga memiliki rakyat sebaik mas.
Kakek    :  Iya, benar.
Ibu         :  Nah, sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. (Kakek mencoba berdiri tegap, tetapi kesulitan) Hah, benar kan, sulit. Itu tandanya mas sudah capek dan butuh istirahat.
Kakek    :  Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Kamu sangat mengerti. Betapa beruntungnya aku mendapatkanmu. Martha, jangan pernah kau meninggalkanku. Aku bisa menjadi makhluk paling hina jika kau tinggalkan.
Ibu         :  Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi, kasihan dia tertidur di kursi, biar antar ke kamar dulu ya mas.
Kakek    :  Kau memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku tercinta. Tapi jangan terlalu lama aku kau tinggalkan. Segeralah kembali, Martha.
Ibu         :  Tidak lama. Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas harus janji setelah ini langsung istirahat.
Kakek    : Tentu, sayang. Aku janji.
Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari panggung dengan tersenyum. Kakek termenung sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin lama suara itu semakin keras. Kakek kebingungan, ketakutan.
Kakek    :  Pasukan! Kumpul! Ada kekacauan!
Ibu dan anak kembali masuk panggung.
Ibu         :  Ada apa lagi?
Kakek    :  Cepat rapikan barisan. Mana sersan Untung?
Anak      :  Dia masih tidur, komandan.
Kakek    :  Cepat bangunkan dia.
Ibu         :  Sersan Untung masih keluar kota, Komandan.
Kakek    :  Tidak mungkin, tidak ada tugas bagi sersan Untung untuk keluar kota. Pasti dia masih tidur. Kalian baris di sini dengan rapi, awasi situasi. Aku akan bangunkan sersan Untung. Situasinya sudah genting, tidak ada waktu untuk istirahat.
Kakek keluar panggung. Beberapa saat, masuk lagi dengan Bapak yang terlihat mengantuk.
Bapak    :  Ada apa lagi ini. Sudahlah, kek, aku capek, aku butuh istirahat, aku besok harus kerja.
Kakek    :  Sekarang kerjanya! Tidak usah menunggu besok. Lihat di sana, kekacauan terjadi di mana-mana. Dan kamu enak-enakan tidur. Perwira macam apa kamu ini, hah!
Anak      :  Komandan, situasinya makin kacau.
Bapak    :  Dimas, diam.
Kakek    :  Bicara yang sopan. Apa pantas kamu bicara seperti itu dengan atasanmu. Sebagai hukuman kau harus push-up satu seri, dan jangan diulangi lagi. Mayor, terus awasi keadaannya.
Anak      :  Siap komandan.
Kakek    :  (pada bapak) Ayo, cepat laksanakan. Apa kamu ini tidak pernah diajari sopan santun. (pada Ibu) Kamu juga, kenapa kamu berani membela orang yang salah?
Ibu         :  Tidak, komandan. Saya tidak berani.
Kakek    :  Kalian harus sadar, harus sadar, di sini aku yang menjadi pimpinan kalian. Kalian harus nurut!
Ibu         :  Siap.
Kakek    :  (Pada Ibu) Kamu ke sana, coba beri mereka pengertian sebisa mungkin. Usahakan jangan samapi ada bentrokan fisik.
Ibu maju ke depan pangung, seolah-olah membawa Megaphone.
Ibu         :  Saudara-saudara, usahakan tetap damai. Kita bicarakan baik-baik. Semua aspirasi saudara-saudara pasti kami tampung. Tetap tenang. Kondisi negeri kita sudah kacau, jangan sampai saudara-saudara menambah kekacauan. Kami di sini sedang mengusahakan yang terbaik untuk negeri ini.
Kakek    :  Bagus. Teruskan.
Ibu         :  Kita semua tidak mau ada lagi kekacauan. Jadi saya harap, ada perwakilan dari saudara-saudara yang masuk dan menyampaikan aspirasi dengan damai. Percayalah saudara. Percayalah, kita semua tidak ingin kondisi ini makin runyam.                       
Anak      :  Komandan, gawat komandan! Mereka menyerang.
Kakek    :  Tetap bertahan.
Anak      :  Sulit, komandan. Mereka semakin mendesak.
Bapak    :  (Menghampiri anak, dan berbicara lirih) Sudah! Diam.
Kakek    :  Segera berpencar. Cari tempat berlindung. Seraaaaangg! Dor, dor, dor, dor, ahhhhhhhhh, aku tertembak.
Kakek terjatuh. Anak berlari menghampiri kakek.
Anak      :  Komandan, apakah komandan baik-baik saja.
Kakek    : Teruskan perjuangan. Jangan hiraukan aku. Ambil alih pimpinan.
Anak      :  Komandan, komandan, komandan jangan mati.
Bapak    :  Ahh, akhirnya selesai. Malam yang melelahkan.
Ibu         :  Mas, jangan pergi dulu. Angkat kakek ke kamar. Kasihan di sini dingin.
Anak      :  (menggoyang-goyang tubuh kakek) Komandan jangan mati. Komandan, ayo bangun.
Bapak    :  (Menghampiri Anak) Dimas, jangan ganggu kakek. Biarkan kakek istirahat. Kamu juga harus segera tidur.
Dimas berjalan pelan keluar panggung.
Ibu         :  Kasihan kakek. Di usianya yang tua, masih saja diganggu ingatan-ingatannya.
Bapak    :  Ya begitulah orang kalau sudah tua. Pikun.
Ibu         :  Kalau saja nenek masih ada.
Bapak    :  Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat menyembuhkannya, mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang lebih baik segera kita kirim ke panti jompo. Mungkin mereka bisa mengurus lebih baik.
Ibu         :  Jangan, mas. Biar akau saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah solusi.
Bapak    :  Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.
Ibu         :  Yang sabar. Bagaimanapun juga Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih baik kita istirahat. Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah caek. Mas angkat kakek.
Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa iba. Pelan-pelan ia angkat, dibaringkan ke kursi goyang.

Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang pelan-pelan padam, tinggal lampu biru yang menyorot kursi goyang. Perlahan lampu biru padam.

Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu datang dengan wajah yang lesu dan hanya memandang.

Lampu pelan-pelan padam.






SELESAI
SELAMAT MENIKMATI
SEMOGA BERBAHAGIA

Naskah Drama IBLIS


OPENING SCENE


MUSIK           :  Gong, kendang pencak dan terompet.
VISUAL          :  Alam jagat raya, komet, bintang, galaksi
LAKU/AKSI   :  Laku dramatik Iblis di isi oleh narasi – musik kendang pencak, lalu adegan kehidupan absurd – pengulangan.


               Iblis ber-metamoefosis menjadi binatang-binantang – Simbolisasi Iblis dalam bentuk binatang. Diawali oleh movement yang lambat mengikuti suara musik yang mengalun dan semakin cepat dan dinamis, kemudian bergerak semakin lambat – movement yang membosankan. Adegan ini merupakan simbolisme Iblis yang diisi oleh narasi.

Narator – Malaikat
               “Iblis yang menyedihkan, kotor dan terbuang
 Terbang melayang di atas dunia yang penuh dosa
 Hari yang indah serta yang lainnya kini menjadi suram dan semu
 Sebelum kehampaan merengkuh dirinya,
 Ia lalui sebelum matanya berkedip.
 Saat Ia nikmati keindahan dunia ini
 Dan ketika komet-komet saling bersinggungan dengan ramah
 Kan berikan senyuman padanya dengan sapaan yang hangat
 Dalam perjalanan mereka saat lewati ruang yang hampa
 Ketika melewati awan-awan dan udara ciptaannya
 Dahaga akan pengetahuan, Ia terbang di atasnya
 Pada kumpulan orang-orang dalam perjalanan mereka
 Ke suatu ruang dimana cahaya bintang tak lagi bersinar
 Saat keindahan, mengalir dan naif
 Ia telah melihat kepedulian dan mempercayainya
 Penciptaan kehidupan yang bahagia!
 Terhindar dari kejahatan dan pertentangan
 Ia tak tahu kapan semua itu berarti
 Sebuah kehidupan yang sia-sia berlalu dengan sangat terbiasa
 Dan Ia sudah menyaksikan semua gambaran kehidupan itu
 Terlalu sedih baginya untuk menyimpan semua kenangan itu.

 Ia melayang, melayang, lama sekali sejak Ia terbuang
 Ke dunia yang ditinggalkan begitu saja
 Dan satu demi satu kehidupan yang tak bermakna berlalu
 Seperti waktu yang silih berganti lewat begitu saja
 Tanpa kesulitan dan hambatan dalam kehidupan kerajaannya”

Iblis     :  “Dunia yang telah hancur binasa
                Dunia yang begitu buruk dan menjijikan
                Dunia yang penuh kasih – Aku benci
                Dapat aku binasakan seluruh permukaan bumi ini dengan badai
                Dan membungkus birunya langit dengan awan hitam kematian
                Dapat aku hancurkan segalanya tanpa aku melihatnya
                Aku benci semua itu – semua telah menjadi binasa dan buruk sekali”

Narator – Malaikat               
               “Bukan menghancurkan tetapi mengasihi
                Dan Tuhan akan memberikan pengampunannya
                Memberikan kesempatan untuk berubah
                Cinta kasih itu tak ada akhir”

Iblis     :  “Orang yang lemah melakukan semuanya tanpa bertanya mengapa
                Hanya melakukan apa yang mereka katakan
                Membunuh, mencuri dan membalas dendam
                Tanpa penyadaran hanya pengulangan yang ada di sana
                Aku muak dengan aturan-aturan kehidupan ini
                Aku melakukan kejahatan di mana-mana tanpa kesenangan
                Tak kutemukan halangan atas perbuatanku
                Dan kejahatan memenjarakan aku dalam kebosanan yang sangat

                Aku inginkan kebebasan dan gairah hidupku
                Aku benci kedamaian yang ada di surga
                Semua itu hanya kebodohan dan membosankan
                Hidup ini hancur oleh pengulangan-pengulangan
                Siapa Tuhan dan segala ciptaannya?
                Sebuah tirani – sebab pada Dia kita semua berlutut
                Cinta sama berartinya dengan pengetahuan
                Ketika aku temukan cinta tanpa rasa takut dan kekuasaan
                Dan aku akan percaya kepada – Nya kembali”

Musik……Iblis terbang lagi

Narator - Malaikat

               “Di atas gunung-gunung dan liuknya sungai-sungai
                Terbuang dari surga, melayang dengan kesalahannya
                Di bawahnya, dataran hijau menyelimuti lembah-lembah
                Ia ucapkan mantera-mantera pada segala yang Ia lihat dan rasakan
                Dan jauh di bawah, di sebuah pegunungan berdiri sebuah istana
                Tanah yang indah, hijau dan penuh kebahagiaan
                Anggur-anggur berhamburan di mana-mana seperti air mancur
                Ungkapan rasa bahagia untuk Tamara, putri Goudal
                Hari ini tengah dipersiapkan pesta pernikahan untuknya
                Dulu semua itu begitu putih dan suci
                Mengalir dalam diri sang Iblis, Ia melayang melewatinya
                Kebencian, ketidakpedulian, dan rasa tidak suka”










ADEGAN PERNIKAHAN

ISTANA GOUDAL BERDIRI MEGAH DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG DAN LINGKUNGAN YANG ADA DI SEKITARNYA. ISTANA GOUDAL TAMPAK GEMERLAPAN BERDIRI MEGAH DI SEBUH BUKIT. PERNIKAHAN SEDANG DIPERSIAPKAN.

            Suara flute mengalun. Air anggur menyembur dari botol-botol anggur putih. Karpet-karpet telah dihamparkan. Muda-mudi bermain, menyiapkan makanan. Lalu seorang pemuda menari – berakrobat – sambil bernyanyi, lalu ia mengajak temannya menari (suasana akrab – lucu), mereka bernyanyi bersama-sama dan bertepuk tangan dengan bahagianya. Tamara berjalan di tengah orang-orang yang tengah menghadiri persiapan upacara pernikahan, disambut oleh Goudal ayahnya. Tamara bernyanyi dan menari di tengah-tangah tamu undangan (menari solo) dengan iringan bunyi tamborin – tarian istimewa yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang hadir. Seperti burung dia menari dengan bahagianya, mengikuti bunyi tamborin dan kendang yang semakin cepat, lalu dia tiba-tiba terhenti. Matanya berkaca-kaca lalu tersenyum, nampaklah wajahnya yang cantik jelita nan muda.
Namun ketika dia menari, wajahnya terlihat sedih. Sebab setelah menikah dia akan meninggalkan tanah kelahirannya, untuk mengabdi pada suami dan keluarganya yang baru.

*DEMON MELIHAT TAMARA – Iblis terpaku. Ia tergoda – begitu bergairah dan ingin memilikinya. Perasaan cinta kasih dan kebaikan datang lagi pada dirinya. Dia tertegun memperhatikan keindahan persiapan pesta pernikahan itu. Perasaan yang kuat menyerang dirinya kembali dan ia menikmati peristiwa itu untuk yang pertama kalinya selama berabad-abad. “Haruskah aku melupakan Tamara? Tidak. Karena Tuhan telah menolak permohonan ampun Iblis dan Tuhan akan mengambil Tamara dariku” (Iblis melepaskan Tamara dari segala kemungkinan yang akan terjadi).

            Iblis mengubah dirinya menyerupai binatang (ber-metamorfose), tubuhnya menjadi setengah binatang-manusia – menjadi seorang pria yang gagah dan menarik. Iblis terlihat begitu bergairah – jatuh cinta, yang terlihat dari gerakan dan perubahan dirinya menjadi binatang.

            Iblis melayang melewati istana Goudal. Ia terhenti dan melihatnya. Pesta dan tari-tarian membuatnya dirinya bosan. Tiba-tiba, ketika Tamara mulai menari (solo), Iblis terkesima oleh keindahannya. Ia coba mendekatinya, menatap Tamara yang tengah menari dalam kumpulan teman dan keluarganya, dengan lincah hingga Iblis terpana.

            Iblis menatap keindahan itu dan semakin dekat, dan terkejut oleh keindahan yang luar biasa dari Tamara, begitu nyata dan murni. Ia mengalami kebahagiaan yang sangat berharga, tetapi kemudian kabut kelam dengan kesedihan membungkus dirinya. Rasa iba yang baru (kebosanan berubah menjadi kepedulian, kebahagiaan, kasih sayang, dan kesedihan yang mendalam).

            “Para tamu undangan membeku saat Iblis jatuh cinta”

            Tamara merasakan kehadiran Iblis. Dia merasa sesak untuk bernafas. Aneh (merasa dingin – merasakan firasat buruk – mendengar suara burung kematian). Dan teman-temannya berusaha menenangkan Tamara.
            Perasaan itu membuat Tamara ingin segera menikah. Bertanya-tanya di mana calon suaminya, “Dimana dia? Kapan dia datang?” dia tidak sabar ingin segera menikah, tetapi teman-temannya berusaha menentramkan hatinya, lalu mengajaknya menari dan bernyanyi lagi.

            “Pengantin Pria dan keluarganya terlihat mendekat”

            Tapi Iblis menginginkan Dia mencintai dirinya. Ia mengatakan bahwa Dia miliknya, Dia akan menjadi ratu di jagat raya ini, selalu bersamanya dan tak akan Ia berikan kepada siapapun karena Dia adalah miliknya.
*Tamara menari lagi.

*IRINGAN PENGANTIN PRIA DENGAN KARAVANNYA
            Rombongan pengantin pria tampak terburu-buru menuju istana pengantin wanita. Kuda pengantin pria tampak lelah dan tergesa-gesa dalam perjalanan itu. Pengantin pria itu ditemani oleh teman-temannya yang berbahagia yang menyanyikan sebuah lagu dengan bunyi lonceng. Unta-unta mereka dipenuhi oleh hadiah-hadiah, sehingga jalannya lambat – mendaki gunung-gunung. Mereka memiliki kuda-kuda yang cerdik, bergerak cepat dan lincah. Kuda-kuda itu mengayunkan kepalanya kesana-kemari dan terlihat takut oleh jalan setapak yang sulit untuk dilalui, jalan yang dibuat oleh kaki-kaki kuda yang ada di belakangnya. Langit meredup – semakin gelap, karavanpun tergesa tergusur oleh kencangnya kuda berlari.

*Kilas balik pada peristiwa persiapan pernikahan
Mereka membangun sebuah batu suci (tempat suci). Dan sudah menjadi tradisi apabila melewatinya harus memberikan penghormatan.

            Demon mengawasi pengantin pria, dan menyihirnya dengan boneka Tamara sehingga ia pergi tergesa-gesa, melewati tempat suci itu. Dan lupa memberikan tanda penghormatan pada batu suci itu, sabagai tanda bahwa pengantin pria sudah siap membawa pengantin wanita mudanya.

*Kilas balik pada peristiwa persiapan pernikahan

*Kilas balik pada adegan rombongan pengantin pria yang sedang bernyanyi lagu gembira

*Tiba-tiba. Para perampok menyerang rombongan pengantin pria : mereka menembak, menusuk rombongan pengantin pria – lalu mereka melarikan diri. Yang tersisa hanya barang-barang yang hancur berantakan dan tubuh-tubuh manusia yang bergelimpangan – sementara itu mereka tetap membunyikan lonceng dengan membawa barang rampokannya.

*Persiapan pernikahan terus berlanjut, tari-tarianpun malah lebih enerjik dan berbahagia

Kuda pengantin pria mencoba untuk melarikan diri, sangat terkejut – telapak kakinya menginjak-injak (mengamuk), matanya berair dan hidungnya mengembang, tetapi kuda itu tetap tidak bisa lari. Pengantin pria tertembak mati dan tubuhnya masih tergeletak di atas punggung kudanya, lalu kuda itu berlari sambil membawa tubuh penunggangnya ke tempat pernikahan akan berlangsung.
            Persiapan pernikahannya terus berlangsung seperti biasanya. Tiba-tiba seekor kuda dan penunggangnya yang mati tiba di tempat pesta pernikahan itu. Para tamu undangan mengira bahwa itu hanya sebuah humor saja (black comedy)

*Demon bersiul irama kematian……

            Tetapi kemudian para tamu undangan sadar akan peristiwa tragis yang baru terjadi.
Goudal mengalami kegagalan. Kebahagiaan hilang begitu saja, dia sangat menyesal dan bersedih – sangat sedih. Siapa yang telah mengendarai kuda dengan tubuh yang berlumuran darah? Di sana mereka menangis tersedu-sedu, sebuah teror dan merupakan peristiwa yang sama sekali tidak terduga.

Tamara menangis dengan penuh penderitaan dan berlari ke kamarnya.
Tamara     : Oh Tuhan! Tuhan…! Oh Tuhan!
Goudal     : Putriku, Tamara! Kita harus menerima takdir Tuhan.

            Tamara mengunci diri dalam kamarnya, Goudal mengetuk pintu kamarnya, mencoba menenangkan putrinya; “Tamara! Tamara! Tamara!” Tamara menangis dan histeris di dalam kamarnya; “Oh Tuhan!” Dia murka-mengamuk, melemparkan semua barang-barang yang ada di kamarnya, menghancurkan apa yang ada di dekatnya, pakaiannya sendiri dia robek, dia jamah rambutnya dengan kasar, lalu tiba-terhenti di depan cermin, menatap wajahnya yang kusut, lalu menjerit – menyakiti tubuhnya sendiri – Dia tak sadarkan diri.

Iblis datang ke kamar Tamara. Iblis mengambil nafas panjang bersamaan dengan Tamara – Iblis menyihirnya, Ia kuasai tubuhnya – menggerakan tubuhnya dengan lembut dan penuh kasih, mengiringinya dengan sebuah tembang.

Iblis     : “Jangan menangis…kau yang terindah…lupakan kesedihanmu…
                Hapuslah air matamu, kesedihanmu tak akan mengembalikan dia…
                Kau akan menjadi ratuku di jagat raya ini…selamanya…bersamaku…
                dalam cinta kasih yang abadi…

Tamara terbanung dan ketakutan…

Tamara  : Siapa yang berbicara kepadaku? Apa yang Ia inginkan?

Setelah itu Tamara tenggelam dalam buaian Iblis, membawa kesadarannya pada sebuah mimpi oleh tembang yang dilantunkan Iblis.

Iblis     :  “Ketika kegelapan datang menjelang dan malampun tiba…
                Kegelapanku, membungkus penglihatanku dari keindahan…
                Saat seluruh dunia ini terlelap dalam keheningan dan kesunyian malam…                               Sekejap semua itu menghilang oleh keindahan alunan ini…

(Cahaya bulan muncul di balik pegunungan menyinari keindahan wajah Tamara)

                Aku terbang…melayang pada dirimu…mendekatimu dan menjagamu...
                Berdua kita menyatu dalam cinta kasih sehingga cahaya matahari bersinar…
                Dari bayangan sinar matamu serta pancaran wajahmu nan lembut…
                Kubelai dirimu dalam malam yang indah bagai emas…
                Dan kau akan menjadi ratuku di jagat raya ini, dengan kasihku…
                Bersama selamanya…karena kau hanya milikku”

            Tamara terbangun ketika suara tembang itu perlahan menghilang. Dia membeku dan mulai menyadari apa yang telah terjadi pada dirinya. Semuanya begitu nyata baginya. Dia bingung dan kecemasan, ketakutan, dan kebahagiaan menghiasi dirinya. Dia tersenyum sejenak lalu semuanya berubah menjadi kesedihan yang mendalam, jiwanya kacau dan labil. Dia merasa lelah dan kantuk. Dia coba penjamkan matanya tetapi tak dapat. Pikirannya sesak akan perasaan bersalah, ketakutan dan kesedihan.









































BABAK II

Adegan I    Tamara Asks Her Father To Go To Monastery

Pemain          :  Goudal, Tamara, Keluarga
Adegan          :  Tamara pergi ke tempat suci meninggalkan Istana Goudal
Laku/aksi       :  Tamara memohon pada ayahnya untuk meninggalkan rumahnya. Mereka berembuk. Kelurga Tamara mengantarkannya ke biara.

Tamara melamunkan Iblis, sia memikirkannya…setelah tiga hari dia menangis – mengunci diri dalam kamarnya. Goudal, ayahnya memanggilnya ke luar.

Goudal           :  Tamara! Putriku, putri kesayangank! Ada apa sayang! Hentikan tangisanmu…tiga hari kau terus menangis. Kau akan menangis sampai mati.
Tamara           :  Ayah…Ayah! Jiwaku menderita. Ayah, kasihanilah anakmu. Lihat bagaimana air mata ini mengalir, telah membasahi wajah ini tiap hari dan akan terus mengalir.
Goudal           :  Kenapa kau seperti itu, Tamara! Ada apa denganmu, putriku? Hentikan tangisanmu. Sudah tiga hari kau…
Tamara           :  Hatiku suram dari hari ke hari – menjadi korban dari mantera yang beracun. Mimpi buruk menyiksa diriku. Kasihanilah aku, Ayah. Aku tak bisa menghindarinya. Bawa aku ke tempat suci. Di sana mereka akan melindungi aku.
Goudal           :  Tempat suci? Sebuah biara.
Tamara           :  Ia menatapku dengan tatapan yang penuh derita dalam hatinya. Seolah Ia merasa berdosa kepadaku…apa yang Ia inginkan dariku?
Goudal           :  Sebuah biara. Aku akan membawamu ke sana, putriku. Biara! Pergilah ke rumah Tuhan, anakku – Dia akan menjagamu. Tetapi ingatlah Ayahmu menunggu di sini. Pergilah…

Tamara memberikan salam perpisahan

Tamara           :  Selamat tinggal semuanya! Selamat tinggal!
Keluarga        :  Selamat tinggal. Selamat tinggal. Selamat tinggal!

NARATOR
            Tamara mengunci dirinya dalam kamarnya selama tiga hari dengan kesedihan yang mendalam, juga rasa takut terhadap Iblis yang terus menghantui. Tamara keluar dari kamarnya, menemui ayahnya. Dia ungkapkan segala apa yang menimpa dirinya – kesedihan – ketakutan dan rasa berdosa. Tamara memohon kepada Ayahnya agar Dia dibawa ke tempat suci. Membersihkan dirinya dari dosa dan menghindari bisikan Iblis yang telah datang padanya. Goudal sangat sedih dengan keadaan yang menimpa Tamara, putri satu-satnya. Keluarga Goudal dirundung malang, Goudal harus merelakan Tamara pergi ke tempat suci demi keselamatan Tamara. Dengan berat hati Goudal merelakan Tamara untuk pergi ke tempat suci. Tamara meninggalkan Istana Goudal.





Adegan II      Tamara at the Monastery

Pemain          : Tamara dan orang-orang suci
Teks                : “Ampunilah Tuhan. Ampunilah Tuhan”.
Laku/aksi       : Para Biarawan sedang upacara ritual – berdoa – bernyanyi

Dari arah yang sama saat Tamara pergi ke luar. Orang-orang suci di tempat itu melakukan prosesi doa-doa, melantunkan puji-pujian, menggambarkan suasana ritus di tempat suci. (Diiringi suara seruling dan bunyi gong – mengalun tenang – ritual [ritual movement]). Yang pertama masuk bergerak dengan cepat, diikuti oleh yang lainnya dengan bentuk movement yang berlainan (mengenakan jubah abu-abu dengan topeng putih), mereka berjalan membentuk lingkaran besar disertai suara bisikan doa-doa – Iblis berada di antara orang-orang suci. Yang lainnya memotong garis lingkaran tersebut dengan arah movement diagonal menuju kanan depan panggung, diikuti oleh yang lainnya membentuk blocking segi tiga (triangle), mereka berlutut. Orang-orang yang berputar dalam lingkaran mengikutinya setelah beputar dua kali. Mereka berdoa dengan gerakan yang sama dan bersamaan – diulang-ulang, gerakan simbolik.
Tamara berusaha keras untuk berdoa pada Tuhan memohon ampunannya, tetapi pikirannya selalu terganggu oleh bayang-bayang bujuk-rayu Iblis – pikirannya kacau.
            Tamara berdoa bersama mereka. Lalu orang-orang suci bergerak ke belakang tengah panggung – membentuk setengah lingkaran, dengan mengulangi gerakan yang sama. (Tamara tidak pindah blocking)
            Tamara masih terduduk di sana, masih berdoa dalam suasana yang ritus dan serius. Pikiran Tamara dijejali oleh pikiran-pikiran dan rasa bersalah-berdosa. Baginya hidup ini telah merengkuh kehidupannya dalam kesedihan dan penderitaan – segalanya telah hancur dan hilang, tak ada yang dapat membahagiakan dirina. Orang-orang suci mencoba menghibur hatinya.
            Tamara berdoa dengan sungguh-sungguh, dia menangis tersedu-sedu, lalu menghela nafasnya beberapa saat, lalu berdoa kembali kepada Tuhan…(lebih emosional)

            Tamara mengulangi doa-doa kepada Tuhan dengan penuh penjiwaan.
-       Perlahan suara flute mengalun (Tamara berdoa kepada Tuhan), lalu suara kendang mengiringi tariannya (Tamara membayangkan Iblis).
-       Tamara masih menari (erotik) membayangkan Iblis, lalu tiba-tiba terhenti – sadar kembali akan dosa-dosanya, lalu berdoa kepada Tuihan (suara flute).
-       Sesaat kemudian Tamara tergoda membayangkan Iblis (menari lagi – diiringi bunyi kendang), lalu sadar akan Tuhan dan berdoa (suara flute), lalu menari lebih lincah lagi (suara kendang lebih dinamis – ritme tinggi)
-       Tamara terus menari dengan lincahnya – semakin cepat sampai akhirnya Dia tiba-tiba terhenti (pause), sadar kembali dan gelisah, berjalan kesana-kemari (pikiran kacau), lalu dia (duduk) terpaku menatap daun pintu jendela (matanya terlihat kosong dan hampa). Dia sangat lelah tetapi tak dapat memejamkan matanya. Lalu Dia menembang: “Malam ini hatiku sunyi……Jiwa ini terluka dan hampa……Malam ini hatiku jadi gelisah……”

Orang-orang suci bergerak mengelilingi Tamara seolah dirinya terhanyut dalam mimpi yang hampa – pada sebuah pintu jendela. Tamara menghilang. Salah seorang dari orang-orang suci tetap tinggal (belakang kiri panggung) – ia adalah Iblis.


NARATOR    : Dia menanti, menanti dan menanti sepanjang hari. ‘Ia menuju kemari’ seseorang berbisik. Dalam mimpinya, Iblis telah datang dan berhasil membujuk hatinya jatuh cinta dan berbunga-bunga, Iblis menatapnya dengan sinar kesedihan, dan kata-katanya yang mendayu-dayu telah meracuni hatinya. Tamara sendiri tidak tahu mengapa semua ini bisa terjadi. Dia menderita dan merana setiap harinya. Sesaat Dia berlutut sebelum doanya dipanjatkan, dan Dia berdoa untuk Iblis.


Adegan III     The Demon at the Monastery

Pemain          : Iblis dan Tamara
Adegan          : Iblis di tempat suci
Laku/aksi       : Pikiran-pikiran halus

            Iblis berjalan dalam prosesi doa-doa orang-orang suci. Iblis berjalan di barisan paling belakang [Dia berdiri di salah satu sudut panggung (belakang kiri panggung)]. Sekelompok kecil (orang suci) berjalan mengikuti garis cahaya dari sebuah jendela di puncak bangunan, mereka bergerak mengikuti sinar yang terpancar dari jendela kamar Tamara.
            Iblis tetap berdiri, membawa segulung kain putih, lalu menghamparkannya dengan tenang dan hati-hati. Ia hamparkan kain itu menuju cahaya yang keluar dari pintu jendela kamar Tamara. Sesaat Ia terhenti – ragu, hampir saja Ia mengurungkan niatnya. Kemudian Ia mendengar suara tangis-keluh seorang gadis yang menderita, dengan suara harmoni dan sebuah tembang.
            Ia langkahkan kakinya ke arah jendela, tetapi kemudian rasa ragu datang lagi. Ia mengalami gejolak kecintaan dan kelemahan, Ia terkejut oleh kekuatannya……
            Hampir saja Ia berbalik arah…tetapi tiba-tiba Ia terpaku. Perlahan Ia menunduk-turun dengan kesedihan dan kesepian. Ia tak peduli. Ia melangkah – hendak memasuki jendela kamar itu – jiwanya terbuka untuk kebajikan, menuju awal yang baru. Tetapi kemudian Ia berpikir bahwa dirinya adalah jahat dan kotor untuk kemurnian dan kesucian.


Adegan IV     The Demon is Confronted by the Angel

            Tetapi tiba-tiba malaikat datang menghadang sebelum Iblis….mencoba untuk mengusir malaikat dengan kain putihnya, sebagai jalan yang telah dibuat Iblis menuju jendela kamar Tamara. Mereka berkelahi – beradu kekuatan dengan kain putih, dan gerakan pencak silat.

Malaikat            :        Berhenti! Siapa kamu?

Iblis membuka topengnya

Malaikat            :        Hai raja dari segala kejahatan! Siapa  yang memanggilmu kemari? Siapa yang memanggilmu? Pergilah kau dari tempat yang suci ini!
Iblis                 :  Dia adalah milikku! Dia milikku. Lepaskan dia. Dia milikku! Hatinya sudah menjadi milikku. Dia milikku! Menyingkirlah dari sini, ini adalah kerajaanku. Di sinilah cintaku.

            Iblis mengerahkan kekuatannya untuk menyingkirkan malaikat. Malaikat melihat penderitaan dalam bola mata Iblis. Lalu malaikat pergi.
Iblis pergi memasuki jendela kamar Tamara……


Adegan V      Tamara Cannot Sleep Thinking only about The Demon
                        (Continued from Scene 2)

Interior di tempat suci – Tamara tidak dapat tidur karena malam itu membuat Tamara menjadi gelisah dan ia selalu memikirkan Iblis. Tamara masih terduduk dan menembang, saat ia teringat pada Tuhan dan berdoa lalu……

Tamara           :  (menembang) Malam ini begitu sepi, aku tidak bisa tidur….

Tamara mengulangi tembang itu empat kali berturut-tuut.

Secepat kilat Iblis memasuki kamar Tamara, Ia dengar tembang yang dialunkan Tamara dari belakang. Ia perhatikan alunan suara itu. Lalu Ia alunkan kembali tembang itu ketika Tamara berhenti.

Iblis                 :  (menembang dengan irama yang sama) Malam ini begitu sepi……

Tamara mendengar Iblis menembang dan dia melihat kesana-kemari seperti tatapan laba-laba.


Adegan VI     The Demon Enters Tamara’s Room – Seductian…Membujuk

Iblis sudah berada di dalam kamar Tamara, Tamara memberanikan diri……move mereka berubah dari pencak silat menjadi move tarian.

Tamara           :  Siapa kamu? Katakan padaku siapa kamu? Katakan……

Jeda panjang (long pause)

Iblis                 :  Aku satu-satunya suara yang kau dengar di tengah malam yang sunyi, yang membisikan nasihat-nasihat pada jiwamu. Yang mengusik kesedihanmu yang paling dalam, menatapmu yang kau lihat dalam mimpimu.
Tamara           :  Siapa kamu? Siapa yang mengirim kamu? Apakah kau dari surga atau dari neraka?
Iblis                 :  Akulah yang dapat melenyapkan harapan=harapan dengan cepat, akulah yang dibenci oleh semua orang, akulah menyebab dari segala penyadaran, akulah sang raja kebebasan dan perubahan,.
                           Tetapi di kakimu……aku budakmu
                           Padamu aku bawa sebuah pesan tentang kesetiaan cinta suci, sebuah doa tulus dalam cinta yang sejatin, derita hidupku yang pertama, kesedihan yang pertama aku rengkuh.
Tamara           :  Apa yang kau inginkan dariku?

Jeda – pause
Iblis                 :  Kau sungguh luar biasa!
Tamara           :  Apa yang kau inginkan dariku?
Iblis                 :  Aku memohon padamu, dengarlah kata-kataku. Hanya kau yang dapat mengembalikan aku ke surga dengan segala kebaikanmu, hanya dengan satu kata. Cintamu yang mengembalikan aku, ke dalam keadaan yang suci seperti malaikat.
                           Dengarkanlah…aku mohon.     
                           Aku budakmu, aku sungguh-sungguh cinta……
Tamara           :  Tinggalkan aku, menjauhlah dariku. Aku tidak percaya. Kau musuh di surga.
Iblis                 :  Oh, dengarkan aku, aku mohon……
Tamara           :  Kaulah penyebab dari semua derita dan kesedihanku, kau racun dalam hidupku. Pergilah! Pergi! Pergi!
Iblis                 :  Aku budakmu, aku sungguh-sungguh!
Tamara           :  Katakan padaku alasan mengapa kau cinta padaku?
Iblis                 :  Jika kamu mau memahami kesedihanku dan segala deritaku kau obat luka deritaku, gairah hidupku,
                           Sejak awal diciptakannya kehidupan ini.
                           Hidup sendirian, kesendirian yang membosankan
Aku belum pernah menemukan sesuatu yang baru
Dunia ini buta atas apa yang aku lakukan
Aku sudah mengalaminya, dan melawan sang penguasa
Dalam perjuangan yang panjang untuk perdamaian yang abadi.
Apa artinya hidup manusia, hidupnya dan ketakberdayaannya
Mereka hanya datang dan pergi
Kepada mereka kebenaran dan nilai moral akan diperlihatkan
Tentang kepastian, ampunan
Tetapi harapanku yang hilang akan terus berlanjut
Aku tak peduli walau harus menderita selamanya
Saat aku melihatmu, saat itulah semuanya berawal
Kebencian sesaat dalam keabadian dan kekuatannya
   Tanpamu, dalam kesendirianku? Atau semua milikku? Hanya kata-kata kosong dan tak bermakna….
Tamara           :  Mengapa aku harus peduli terhadap semua penderitaanmu? Dan mengapa kau mengadu pada diriku? Kau penuh dosa dan kesalahan…!
Iblis                 :  Kepadamu, aku tidak berdosa.
Tamara           :  Kita dapat didengar orang lain.
Iblis                 :  Hanya kita berdua.
Tamara           :  Dan Tuhan!
Iblis                 :  Dia hanya memperhatikan surga bukan dengan kehidupan ini.
Tamara           :  Lalu dengan hukuman dan siksaan neraka.
Iblis                 :  Lalu bagaimana kita berada di sana.
Tamara           :  Kata-katamu begitu suci tulus
Telah mengganggu jiwa dan pikiranku
Tapi jika keinginanmu benar tulus dan suci
Sungguh kasihan, apa yang berharga?
Makna apa yang ada dalam jiwaku untukmu?
Kau melihat kesendirianku, kau mengerti isi mimpiku
Tentu aku akan mengasihanimu dan kasihanilah diriku
Menghindari bujuk-rayu kejahatanmu
Menghindarinya dan aku memohon
Berjanjilah! Berjanjilah! Berjanjilah!
Iblis                 :  Aku berjanji padamu atas segala kehidupan
Demi surga dan neraka
Atas segala yang suci dan bersih
Demi udara yang kau hirup dalam nafasmu
Demi air mata yang kau teteskan pertama kali
Demi surga yang aku tinggalkan dan aku pertanyakan
Untuk berdoa dan memohon
Berkorban untuk kehidupan dan kebaikan
Aku buang semua kejahatan dan kehancuran yang aku lakukan
Dan mimpi yang aku tinggalkan.
Tamara           :  Aku percaya kau sungguh-sungguh atas apa yang menjadi niatmu.
Iblis                 :  Aku membutuhkan kasihmu, yang aku nantikan
Aku akan menjadi milikmu, keabadianku hanya untukmu
Kan kubawa dirimu ke alamku
Kau akan menjadi ratu dari segala kehidupan
Cinta ksih sejati, pertama dan abadi
Kau akan lihat kehidupan bumi di sini
Dimana keindahan berakhir dan menghilang
Dimana kebahagiaan datang terhenti dan tak kembali
Ketika cinta terakhir hadir lalu menghitung dan takut hadir lagi
Manusia kehilangan makna cinta dan keindahannya
Lihatlah semua cinta itu hancur berkeping
Cinta kasih yang ada hanya nafsu libido dan api hasrat
Tetapi waktu terus berjalan sementara darah mulai beku
Tidak, bukan dirimu
Kau tidak terlahir untuk menggilas bunga hidupmu
Dan tenggelam dalam dunia yang terkekang
Terkungkung dalam kosmologi yang terpuruk
Terengkuh oleh ketakutan dan kesetiaan
Tidak, takdirmu berbeda dengan manusia nihil
Kau makna dari segala keindahan ini
Kan kusembahkan padamu gelora pengetahuan
Sebuah mahkota dengan setitik sinar yang terangkan kegelapan
Yang terbuat dari serpihan bintang-bintang di ruang sana
Kan tercipta percikan cahaya di tengah malam
pada tetesan air kehidupan
aku akan tenggelam ke dasar lautan lalu
Terbang melayang ke atas awan-awan dengan butiran mutiara
Kebahagiaan, kebaikan dan kedamaian akan selalu tercipta
Akan aku berikan segala keindahan yang ada
Kau akan menjadi ratu di jagat raya ini
Tapi kau hanya akan menjadi milikku
Hanya mengasihiku selamanya.
Tamara           :  Oh Tuhan.
Iblis                 :  Tamara, kasihi aku, cintai aku!
Tamara           :  Oh Tuhan! Aku mohon tinggalkan aku!
Iblis                 :  Kasihi aku selamanya kita akan bersama.
Tamara           :  Kasihanilah aku, aku mohon padamu!
Iblis                 :  Tamara, aku cinta kamu.
Tamara           :  Aku mohon, tinggalkan aku sendiri, kasihanilah aku.
Iblis                 :  Tamara aku sungguh-sungguh kumohon padamu.
Tamara           :  Oh Tuhan!

Iblis terus memohon pada Tamara, mengikutinya kemanapun Tamara melangkah. Hingga akhirnya Tamara terjerat cintanya. Iblis mencium bibirnya. Dan Tamara terjatuh dan tergeletak di lantai.

NARATOR    :  Iblis datang menemui Tamara di kamarnya. Suara tembang dari kegelisahan hati Tamara telah memanggilnya. Ia datang menghampiri jiwa Tamara yang sedang terluka dalam kesedihan. Iblis datang mengobati luka hati dengan kekuatan cinta yang bergelora dalam dirinya. Kebaikan telah membangkitkan keinginan untuk memiliki dirinya. Iblis membujuk hati Tamara agar dia mencitai dirinya dan……


Adegan VII    Kematian Tamara/Tamara’s Death

NARATOR – MALAIKAT :Narasi diucapkan mengiringi ciuman iblis dan kematiannya

“Dia tak berdaya! Kemenangan sang Iblis!
 Ciumannya menjadi racun pada jiwanya yang lembut
 Merasuk hingga ke dalam pori-pori jiwanya
 Jeritannya bergema sepanjang malam, hingga malam berlarut
 Dipenuhi oleh kekuatan cinta dan derita kesedihan
 Sebuah rintihan yang terakhir, rintihan pada akhir perpisahan
 Atas segala apa yang tak pernah terbayangkan”

Orang-orang suci dan keluarga Goudal datang menghampiri Tamara yang terkulai di lantai, tubuhnya ditutupi oleh kain putih.

NARATOR – MALAIKAT : Berjalan sebelum tubuhnya dibawa dengan payung hitam

“Wajahnya membeku – dingin – tak bicara
 Pada seorang yang melihat bagaimana Dia terkulai di sana
 Dalam sebuah kebahagiaan dan kekuatan gairahnya
 Tidak! Semua tentang kehidupannya telah tertunda
 Tersimpan dalam keindahan yang begitu damai dan tenang – beku
 Hampa seperti batu bulat yang menggelinding
 Pikirannya kosong dan hampa, hambar, seperti kematian
 Dan sebuah senyuman aneh yang tersisa
 Melewati bibirnya yang telah membeku
 Pada rasa sakit dan penyesalan yang mendalam
 Pada keprasahan yang telah bicara
Telah membawa kesan yang hampa dan beku
 Keprasahan akan datangnya kematian

Goudal mendekati tubuh putrinya yang terbujur kaku. Orang-orang suci berdiri di belakangnya. Ia terduduk di samping putrinya. Sementara Goudal terduduk tanpa kata-kata – dalam penyesalan yang sangat, ia menangis.
            Anggota keluarga Tamara menolong Goudal untuk berdiri, lalu mereka memberikan rasa dukacita mereka dengan bersalaman dan berpelukan, kemudian satu per satu memberikan kecupan terakhir pada Tamara. Setelah itu mereka mengangkat tubuh Tamara dan membawanya pergi dengan taburan bunga – bergerak membentuk garis huruf delapan.


Jiwa Tamara dibawa Malaikat menuju surga Tamara is carried off by the Angel

            Malaikat muncul dan membawa tubuh Tamara setelah prosesi selesai dari keluarganya, malaikat mulai membawanya menuju surga.
            Di bawah cahaya biru dari langit, malam itu. Malaikat tengah membawa Tamara dengan doa-doa agar perjalanan menuju surg dapat berjalan dengan baik. Perjalanan itu dipenuhi oleh tetesan air mata, dan dengan air matanya malaikat membesihkan dosa-dosa Tamara dan jiwanya.
            Dari kejauhan suara kehidupan di surga mulai terdengar yang disertai cahaya yang memancar dari surga.
            Tiba-tiba Iblis muncul menghadang perjalanan malaikat.

Iblis                 :  (menggeram) Dia milikku.
Malaikat            :        Lenyaplah, jiwa yang hitam dan kotor.
Iblis                 :  Bagaimana kau mampu memisahkan kami. Kami saling mencintai. Kami akan selalu bersama selamanya.
Malaikat            :        Pergilah ruh yang jahat. Dia akan tetap bersama kami. Dia milik kami.

Mereka berkelahi, mengadu kekuatan. Tiba-tiba Tamara pergi menuju surga. Mereka berhenti berperang. Memohon pada Tuhan untuk memberikan keputusan.

Tuhan               :        “Jiwanya adalah milik kami dan sudah digariskan.
                            Aku ampuni dosa-dosanya dan aku buka pintu surga baginya
 Tapi kau……
 Kau tak akan pernah aku ampuni.
 Kau yang selalu mempertanyakan kehancuran yang abadi
 Pada akhir kesendirian dan kurungan yang abadi
 Aku hapuskan kebahagianmu, aku hapuskan rasa kasihmu
 Kau tak akan pernah termaafkan”

Tamara pergi ke surga bersama malaikat.
Iblis tinggal sendirian. Ia menangis……

Iblis                 :  Dunia yang hancur, kehidupan yang binasa.

Musik suling mengisi suasana kesendirian, tangisan diisi oleh bunyi terompet selama Iblis murka atas kesedihan dan kesendiriannya.


BLACK OUT

Dari panggung yang gelap – fade in – menerangi panggung dengan perlahan, terlihat laba-laba, serangga, ular, kelelawar, burung dan cicak. Suara kecapi masuk mengisi suasana pentas.
Para aktor berlaku seperti binantang, adegan ditutup oleh suara cicak yang tertawa dari kegelapan.