host gator coupons Materi Drama: November 2011

Senin, 28 November 2011

KIBLAT


 





KIBLAT
TANAH NEGERI

Naskah Drama Panggung






Penulis
Gondhol Sumargiyono

Penyelaras
Sugita Hadi Supadma
M. Ahmad Jalidu













Perhatian !
Untuk menggunakan naskah ini harap menghubungi
M. Ahmad Jalidu
08175486266
masjali@yahoo.com
KIBLAT TANAH NEGERI








Introduksi
Suasana            : tegang panas
Setting             : Rumah Ki Gedhe Lemah kuning (lampu merah)
Musik              : Sampak campur vocal + palaran
Waktu              : malam hari
Pelaku              : Ki gedhe lemah kuning

Palaran surat dari Unggul Pawenang (dibarengi tarian)

Sabdha Jati, aja ngaku Hyang Sukma
Mara sowano mring reki
Najan leresa ing batin
Nanging luwih kaluputan
Wong wadheh ambuka wadi
Telenge bae pinulung
Pulungi tanpa ling-aling
Kurang waskitha ing cipta
Lunturing kanthi nugraha
Tan saben uwong nampani.

Ki Gedhe Lemah Kuning (murka)
Jangankan hanya delapan! Beribu-ribu sesepuh, aku takkan sudi menghadap ke Unggul Pawenang. Aku bukan budak. Aku tidak sudi diperintah. Sejak mentari menampakkan sinarnya aku sudah hidup di antara langit dan bumi ini. Aku dan para sesepuh itu sama, hanya seonggok daging yang berupa bangkai yang tidak lama lagi akan busuk. Menjadi tanah. Tapi hari ini kalian kumalungkung para sesepuh. Beraninya mengundang aku yang sebenarnya sudah manunggal dengan Ywang Sukma. Ki Gedhe Lemah Kuning! (kepada utusan) Pulanglah!

Utusan
Saya akan pulang dan Ki Gedhe turut bersama saya.

Gajah Sora, Lembu Tanaya, dan Kebo Kenanga
Keparat!
Lancang!
Setan alas!
(Keitiganya menghajar dan mengusir utusan)
musik pembuka beranjak kembali
LAMPU BERUBAH


ADEGAN 1
Suasana            : Pasewakan
Setting             : Unggul Pawenang
Musik              : Ladrang
Waktu              : Pagi hari

Nila Ambara
Sinuwun, Unggul Pawenang saat ini diselimuti kabut gelap, sinar rembulan takut menampakkan cahaya terang. Unggul Pawenang tertutup awan hitam, sinuwun.

Panembahan Purwa
Apa? Unggul Pawenang diselimuti kabut gelap?

Nila Ambara
Benar sinuwun. Kabut itu semakin pekat seiring tersebarnya ajaran Ki Gedhe Lemah Kuning. Apalagi, hamba mendengar kabar bahwa Ki Gedhe Lemah Kuning ada dibelakang sepak terjang Kebo Kenanga. Banyak pemuda-pemuda yang membangkang pemerintahan Unggul Pawenang karena tergiur mengikuti ajaran Ki Gedhe Lemah Kuning.

Glathik Pamikat
Ananda Sultan, memang benar adanya. Suramnya bumi Unggul Pawenang ini disebabkan oleh Adhi Gedhe Lemah Kuning yang mampu memikat rakyat lantaran ajarannya. Sekarang dia sudah jarang bersama kami, manembah Sang Akarya Jagat di Lawang Kaswargan. Sungguh, ini di luar kebiasaan.

Panembahan Purwa
Oh, Ki Ageng, Aku serasa terkunci di peti besi, terkepung seeribu gunung. Pandanganku terhalang oleh tumpukan harta dan kemewahan, hingga masalah sebesar ini tidak kuketahui.

Gagak Rimang
KI Gedhe Lemah Kuning sudah medhar wewadining jagat kepada kawula Unggul Pawenang. Kawula yang masih tabu akan hal itu, sebab, alam pikiran dan angan-angan mereka masih dipenuhi rimbunnya semak belukar yang lebat. Mereka tidak sepenuhnya memahami kawruh yang kawedhar. Apakah nantinya justru tidak menjerumuskan dan merusak tatanan?

Nila Ambara
Sinuwun, bagi saya, tanpa memandang ajarannya, Ki Gedhe Lemah Kuning jelas-jelas sudah mengacaukan ketertiban negara. Saya tidak boleh tinggal diam, Sinuwun.

Panembahan Purwa
Lalu bagaimana menurut hemat Ki Ageng?

Bonang Panuntun
Ya… Adhi Gedhe Lemah Kuning memang sudah melangkah terlalu jauh. Kami berdelapan sudah berulang mengirimkan undangan, tetapi setiap utusan selalu kembali dengan jawaban yang tidak memuaskan, Adhi Gedhe Lemah Kuning tidak pernah bersedia sowan ke Unggul Pawenang.

(Panembahan Purwa terdian beberapa saat)

Nila Ambara
Maaf, Sinuwun. Keadaan ini semakin pelik sinuwun. Sudah menjadi tanggung jawab saya atas ketentraman rakyat Unggul Pawenang. Jika sinuwun berkenan, saya akan segera menyusul ke padhepokan Gedhe Lemah Kuning. Akan saya jemput beliau, secara halus ataupun dengan paksa.

Jalak Manitis
Nila Ambara! Jangan sampai yang keruh semakin keruh. Kita sedang mencari jalan untuk menemukan kejernihan, Nila Ambara. Sinuwun, rasanya itu juga menjadi tanggung jawab kami untuk mengingatkan Gedhe Lemah Kuning. Untuk sementara beri kami waktu untuk berikhtiar lagi.

Nila Ambara  
Jangan bertaruh dengan waktu Ki Ageng!

Panembahan Purwa
Nila Ambara! (membentak)

Nila Ambara
Maaf, sinuwun.

(Wilutama masuk)

Wilutama
Hamba menghadap, Sinuwun.

Panembahan Purwa
Aku terima. Ada apa Wilutama?

Wilutama
Sinuwun, utusan Ki Ageng Glathik Pamikat sudah kembali dan memohon ijin untuk menghadap Sampeyan Dalem.

Panembahan Purwa
Baiklah. Segera persilakan dia masuk!

Wilutama
Sendika dhawuh, Sinuwun.

(Masuk Kidang Tlangkas bersama Wilutama)

Wilutama
Sinuwun, beliau Kidang Tlangkas, yang baru saja kembali dari padhepokan Ki Gedhe Lemah Kuning.
Panembahan Purwa
Bagaimana Kidang Tlangkas? Apakah Gedhe Lemah Kuning bersedia sowan ke Unggul Pawenang?

Kidang Tlangkas
Maaf, Sinuwun, Ki Ageng Glathik Pamikat, Saya tidak berhasil. Ki Gedhe Lemah Kuning menolak datang ke Unggul Pawenang. Dia bahkan menyatakan diri telah manunggal dengan Ywang Sukma. Menyatu dengan dengan Gusti Kang Akarya Jagat.

(Semua terkejut).

Glathik Pamikat
Celaka! Ini semakin mengkhawatirkan. Akan semakin banyak orang yang mengaku Tuhan seperti halnya Ki Gedhe Lemah Kuning.

Bonang Panuntun
Jika sudah begini, harus ada orang yang dapat meluruskan dan mengajak Ki Gedhe Lemah Kuning datang ke Unggul Pawenang untuk membahas masalah ini.

Podang Binorehan
Kita harus berbuat sesuatu Ki Ageng. Jika perlu, Kita yang datang langsung ke sana.

Nila Ambara
Hari ini juga hamba bersedia menjemputnya, Sinuwun.

Jalak Manitis
Sebentar Nila Ambara.

LAMPU BERUBAH


ADEGAN 2
Suasana            : Sidang Para sesepuh
Setting             : suatu tempat antah berantah
Musik              : mencekam
Waktu              : siang


Gagak Rimang
Bahayanya adalah jika para pengikut itu tidak mampu memahami dengan benar. Ini menjadi seperti ajaran yang sesat.

Glathik Pamikat
Aku setuju dengan pendapatmu, adhi Gagak Rimang. Akan sangat mengkhawatirkan apabila wewadining jagat, kawruh jatining urip lan kawruh sangkan paraning dumadi kawedhar untuk sembarang orang. Padahal, tiap orang belum pasti mampu menerima ajaran itu.


Jalak Manitis
Maaf, Ki Ageng, apalah gunanya mempersulit diri untuk mendapatkan ilmu. Tidak dapat dinafikan, ajaran itu sudah semestinya diketahui dan dipahami oleh mereka yang manembah kepada Gusti Kang Akarya Jagat.

Bonang Panuntun
Benar, Jalak Manitis. Memang benar. Namun untuk dapat menerima kawruh itu, bukanlah tanpa syarat. Sungguh, itu merupakan anugerah bagi mereka yang sudah mendapat hidayah. Tidak dapat diajarkan begitu saja seperti halnya ilmu wadag. Jika si penerima tidak kuat, justru akan kehilangan kiblat.

Podang Binorehan
Benar. Sebab ilmu yang diajarkan Ki Gedhe Lemah Kuning dapat menjadikan orang salah paham. Dia medhar kawruh, bahwa sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini ada karena kawruh budi, bukan dari Riptaning Gusti kang Murbeng Dumadi. Itu bisa ditafsirkan secara mentah, Sehingga akhirnya para pengikut itu tidak lagi manembah kepada sang Khaliq. Lupa kewajibannya. Apa keadaan seperti itu masih bisa membuat kita diam menunggu?

Gagak Rimang
Mereka akan menghilangkan syariat. Sungguh kerusakan yang parah.

Podang Binorehan
Di kemudian hari, murid-muridnya pasti akan lebih berani melanggar syariat. Yang haq dikatakan batil, dan yang batil dikatakan Haq. Halal dibilang haram dan sebaliknya. Peradaban akan hancur.

Jalak Manitis
Tetapi selama ini kita hanya mendengar. Kita belum benar-benar menyaksikan apakah ajaran itu benar-benar menyebabkan kerusakan negara?

Podhang Binorehan
Jalak Manitis! Apa kamu tidak mendengar Nila Ambara sudah matur bahwa Gedhe Lemah Kuning juga ada di balik sepak terjang Kebo Kenanga. Itu bukti pengaruh buruk ajaran Gedhe Lemah Kuning.

Glathik Pamikat
Ki Gedhe Lemah Kuning juga mengajarkan, bahwa manusia yang lahir ke dunia ini sebenarnya hidup dalam kematian. Bumi yang dipijak ini dianggapnya alam kubur. Ini benar-benar akan merusak syariat!

Gagak Rimang
Bagi mereka yang dangkal pemahamannya, lalu ambil enaknya saja, menyimpang dari ketetapan syariat. Mereka tidak butuh manembah marang Gusti, sebab anggapan mereka, kini telah ada di alam kubur.

Bonang Panuntun
Ya, benar. Mereka yang masih awam justru akan begitu mudah melanggar syariat, tidak mau lagi manembah Gusti di Lawang Kaswargan. Meniru perilaku Ki Gedhe Lemah Kuning. Padahal jika diibaratkan jalma itu buta, bisu, tuli, sebenarnya tingkah laku itu datang dari Hyang Manon. Bukankah di dalam Jitabsara sudah ditegaskan, bahwa diciptakannya manusia di dunia ini hanyalah untuk ngabekti marang Gusti. Bila seperti ini, lalu bagaimana jadinya?

Jalak Manitis
Lalu untuk apa pohon besar yang rimbun dan lebat jika buahnya tidak dapat dipetik dan dinikmati orang? Itu tidak bermanfaat. Juga apa gunanya pohon yang rindang, jika tidak mampu memberikan keteduhan bagi orang yang singgah di bawahnya?

Podhang Binorehan
Adhi Jalak Manitis! Belum saatnya kawula di Unggul Pwenang menerima kawruh tersebut. Walaupun benar adanya, tapi sesungguhnya salah bila kawruh itu kawedhar. Sebab akan berakibat fatal bagi mereka yang benar-benar belum siap menerimanya. Lalu, akan menggiring mereka keluar dari tuntunan Jamus Kalimasada. Apakah satu cawan kecil dapat menampung air sebelanga? Bila saat ini baru ada cawan, isi saja cawan itu hingga penuh. Tidak lebih.

Jalak Manitis
Apakah kita ini tidak berbeda dengan manusia lain Ki Ageng? Kita sama-sama manusia. Jika kita mampu, mestinya semua orang juga mampu. Gedhe Lemah Kuning memang telah sampai pada tahap makrifat, setelah melalui syariat, hakikat, dan tarekat.

Podang Binorehan
Tetapi murid-murid dan pengikutnya tidak bisa langsung menerima makrifat.

Jalak Manitis
Saya kira Gedhe Lemah Kuning juga tahu bagaimana mengajarkan ilmu pada muridnya. Jika Gusti yang dia sembah sama dengan Gusti yang kita sembah. Mestinya juga sama-sama bertujuan kemaslahatan bersama. Sama-sama guru, boleh saja berbeda cara mengajar.

Podang Binorehan
Adhi Jalak Manitis! Kamu membela Gedhe Lemah Kuning!

Jalak Manitis
Saya hanya berusaha Khusnudzon Ki Ageng. Saya takut kekhawatiran kita berkembang menjadi kedengkian. Ki Ageng sendiri yang mengajarkan untuk berbaik sangka. Kenapa Ki Ageng berbalik.

Podang Binorehan
Jalak Manitis! Sebenarnya apa kehendakmu?

Semua serentak
Ki Ageng! Sabar!... sabar…

Jalak Manitis
Saya hanya tidak ingin, menyelesaikan kerusakan dengan kerusakan.

Bonang Panuntun
Dan kita hampir saja ikut-ikutan rusak Jalak Manitis. Sabar…

Gagak Rimang
Lebih baik, kita menyusul ke sana dan berusaha membujuknya. Jika Nila Ambara sudah berangkat, saya khawatir keadaanya menjadi semrawut. Nila Ambara itu senopati, jangan sampai dia menggunakan cara-cara keprajuritan.

Podang Binorehan
Jika itu memang jalan satu-satunya kenapa tidak. Yang saya khawatirkan adalah Nila Ambara belum tentu mampu menghadapai kekuatan Gedhe Lemah Kuning.

Jalak Manitis
Maaf, Ki Ageng. Jika seperti itu yang ada di pikiran Ki Ageng, saya tidak setuju. Lebih baik saya berangkat sendiri…

Semua
Jalak Manitis!

LAMPU BERUBAH



ADEGAN 3

Suasana            : Ki Gedhe Lemah Kuning medhar kawruh
Setting             : Padhepokan Gedhe Lemah Kuning
Musik              :
Waktu              : Sore Hari
Pelaku             : Gedhe Lemah Kuning, Gajah Sora, Kebo Kenanga, Lembu Tanaya dan murid-murid.

Gedhe Lemah Kuning
Camkanlah murid-muridku. Sesungguhnya bumi yang kita pijak ini adalah alam kubur. Di alam kubur, manusia masih juga  gemar menumpuk harta dan segala yang tidak akan dibawanya kelak di alam kelanggengan, alam setelah kematian. Akibatnya, mereka menafikan keberadaan hidup yang sejati.

Gajah Sora
Maaf, guru. Dahulu pernah kau katakan. Manusia diturunkan ke alam padhang ini hanyalah layaknya bangkai, belum berujud manusia sejati.

Gedhe Lemah Kuning
Di alam padhang ini, manusia hanya menunggu saatnya maut menjemput. Manusia dilahirkan, hidup dan tumbuh, dan akhirnya hanya akan mati.

Lembu Tanaya
Guru. Jika ada manusia yang menginginkan hidup langgeng, bagaimanakah caranya?

Gedhe Lemah Kuning
Bila ada manusia yang punya keinginan untuk mendapatkan hidup abadi, dia harus memiliki ilmu kamukswan. Tapi apalah gunanya? Punya umur panjang, tapi tidak bisa sumarah, berserah diri kepada gusti. Tidak bisa hidup dengan ikhlas. Apalagi, wadhagnya akan kasat mata.

Kebo Kenanga
Lalu bagaimana seharusnya manusia hidup itu, Guru?

Gedhe Lemah Kuning
Manusia hidup harus berani mati. Bukan keterpaksaan mati seperti halnya manusia kebanyakan. Manusia harus mencari jalan kematian menurut kehendaknya sendiri. Bukan kematian yang disebabkan oleh sesuatu apapun, kecuali kehendaknya sendiri.

Kebo Kenanga
Mati oleh kehendaknya sendiri? Wah.. aku belum mengerti, Guru.

Gedhe Lemah Kuning
Kebo Kenanga, Manusia yang disebut mati atas kehendaknya sendiri adalah manusia yang dapat mengembalikan hutang-hutang selama hidupnya. Ialah dari apa saja yang telah dipinjamkan Gusti kepadanya, di antaranya badan wadhag dan nyawanya.

Lembu Tanaya
Jika begitu, manusia harus membayar hutang-hutang tersebut? Apa maksudnya, Guru?

Gedhe Lemah Kuning
Lembu Tanaya, badan wadhag atau raga harus kembali ke tanah, atas kehendak sendiri. Yang berasal dari air harus kembali menjadi air, dari udara menjadi udara, dari api menjadi api, dan roh kembali ke alam kamukswan. Yang tinggal hanya pribadinya sendiri.

Gajah Sora
Pribadinya sendiri? Apa artinya?

Gedhe Lemah Kuning
Wujud Pribadi itu sesungguhnya wujud kehidupan sejati. Wujud yang manunggal dengan Gusti. Pribadi manusia itu sesungguhnya manunggal klawan Ywang Sukma.

Kebo Kenanga
Bagaimana caranya mencari hidup sejati yang kaumaksudkan itu, Guru?

Gedhe Lemah Kuning
Dengan cara beribadah, manembah marang Gusti Kang Akarya Jagat.

Gajah Sora
Beribadah itu bagaimana Guru? Apakah harus di Lawang Kaswargan seperti orang kebanyakan?


Gedhe Lemah Kuning
Ibadah berangkat dari getaran kalbu. Hasrat dari wujud pribadinya. Dan ibadah itu tidak harus dilakukan di Lawang Kaswargan. Mencangkul sawah itu ibadah. Bercocok tanam itu bagian dari ibadah. Manembah marang Gusti. Bila dengan bersujud di Lawang Kaswargan sudah merasa dirinya manembah marang Gusti, namun perilakunya tidak mematuhi tatanan, melanggar hukum yang ada, merugikan sesama, itu sama dengan orang merugi.

(Nila Ambara Masuk. Para Prajurit menunggu di luar)

Nila Ambara
Kakang Gedhe Lemah Kuning…

Gedhe Lemah Kuning
Oh… Adhi Nila Ambara, silakan masuk. Ada perlu apakah gerangan hingga Adhi datang ke padhepokanku ini?

Nila Ambara
Maaf, kakang Gedhe Lemah Kuning, Aku diutus oleh para sesepuh dan sinuwun Panembahan Purwa…

Gedhe Lemah Kuning
Pastinya kau diperintah untuk membawaku sowan menghadap ke Unggul Pawenang. Benar Bukan?

Nila Ambara
Benar, Kakang. Mengapa Kakang menyebarkan ajaran yang belum saatnya diterima kawula di Unggul Pawenang?

Kebo Kenanga
Kakang Nila Ambara! Ki Gedhe Lemah Kuning tidak pernah mencari murid. Bukan sumur lumaku tinimba. Justru para kawula sangat ingin mendapatkan ilmu darinya. Kami ibarat semut yang mencari gula.

Lembu Tanaya
Mengapa pula para sesepuh dan Panembahan Purwa melarang orang menuruti hasrat hatinya sendiri. Hasrat hati adalah milik pribadi yang merdeka.

Gajah Sora
Langit dan bumi bukanlah milik sinuwun Panembahan Purwa. Semua isi langit bumi dan seluruh ilmu adalah milik Gusti untuk semua titahnya. Tidak ada yang berhak mengusainya sendiri.

Nila Ambara
Tapi Kakang Gedhe Lemah Kuning telah merusak ketentraman negara dengan kawruh yang diajarkannya. Atas dasar apa kakang Gedhe Lemah Kuning berani medhar wewadining jagat-sejatining urip.


Kebo kenanga
Kakang, cobalah kaupikirkan dan kaurasakan sungguh-sungguh! Di dadamu sebenarnya sudah tertanam kawruh seperti yang telah diajarkan oleh Guru. Cobalah sekali lagi! Jika Kakang bersedia membaca suratan yang tertulis di dasar hati, sudah tentu kau akan tanggap sasmitaning gaib. Dan kau pasti akan mengerti apa yang disebut kehidupan sejati. Gesang kang Sejati!

Nila Ambara  
Gesang sejati itu hidup sebagai titah dan khalifah yang tunduk pada Gusti. Gesang sejati itu keseimbangan kaswargan dan kadonyan. Manembah Gusti dengan tertib tuma’ninah. Bukan menjadi Gusti bagi dirinya sendiri.

Gajah Sora
Tetapi…

Nila Ambara
Sekali lagi aku tegaskan! Gedhe Lemah Kuning telah melanggar tatanan syariat! Oleh sebab itu, mau tidak mau harus ikut aku menjelaskan hal ini ke Unggul Pawenang.

Gedhe Lemah Kuning
Aku tidak akan datang ke Unggul Pawenang! Tidak ada yang dapat dan boleh memerintahku. Aku bukan budak siapapun. Aku adalah utusan diri pribadiku. Hanya perintah pribadi sejati ini yang akan kuturuti. Pulanglah Nila Ambara.

Nila Ambara
Apa perlu kuulangi? Nila Ambara datang untuk menjemput Gedhe Lemah Kuning sowan ke Unggul Pawenang…

Lembu Tanaya
Dasar! Tamu tak tahu diri! (menghantam Nila Ambara…)

(Peperangan prajurit Nila Ambara dan murid padhepokan Gedhe Lemah Kuning tak terhindarkan…)



ADEGAN 4
Para sesepuh datang menghentikan peperangan

Jalak Manitis
Hentikan! Nila Ambara, tarik prajuritmu! Ini urusan para sesepuh dengan Adhiku Gedhe Lemah Kuning.

Gedhe Lemah Kuning
Salam hormatku para sesepuh. Ketahuilah, bukan kami yang menginginkan ini.

Podang Binorehan
Adhi Gedhe, Surya telah mulai merangkak ke barat. Sebentar lagi hari akan gelap. Jangan kau lanjutkan keinginanmu.
Gedhe Lemah Kuning.
Keinginan yang mana? Aku sekedar menuruti kehausan mereka pada ilmu kehidupan. Dan bukankah ilmu kehidupan laksana air bagi seluruh kehidupan.

Bonang Panuntun
Aku paham keinginanmu, Dhi. Tapi ilmu itu belum semestinya diajarkan pada kawula Unggul Pawenang untuk saat ini.

Gedhe Lemah Kuning
Ki Ageng, untuk apa mempersulit ilmu? Bukankah Ki Ageng sendiri juga merasa keberadaan kita adalah sebagai pancuran yang mengucurkan kawruh dari sendang kasejaten?

Podang Binorehan
Tapi bukan dengan mengajar sembarang kawruh! Jangan main gebyah uyah! Mereka belum mampu! Langkahmu itu bisa-bisa melenyapkan syariat! Tanpa syariat, hakikat itu sesat Dhi!

Gedhe Lemah Kuning
Bukankah ajaranmu isinya syariat! Lalu kenapa khawatir kehilangan syariat! Kita sama-sama punya murid. Kenapa tidak biarkan saja para kawula memilih dengan merdeka ajaranku atau ajaran Ki Ageng. Kenapa tidak berani?!

Podang Binorehan
Lemah Kuning!

Jalak Manitis
Adhi Gedhe Lemah Kuning…
Marilah Dhi, kedatangan kami adalah untuk berdamai dan mengajakmu turut bersama kami. Saling anyamlah sebab kita menjadi payung keselamatan jalan kawula, Dhi.

Gedhe Lemah Kuning
Kakang Jalak Manitis, aku paham maksudmu, tapi jalan kita memang sudah berbeda.

Jalak Manitis
Kamu menyebut Gusti yang sama dengan yang aku sebut. Mestinya sama Dhi… Kita tidak sebodoh ini, membiarkan anyaman tecabik, hingga koyak dan tak mampu lagi menjadi payung peneduh… kita bicara dan menyatukan hati serta langkah. Ajaran kita tak mengajarkan kerusakan…

Gedhe Lemah Kuning
Kita berbeda Kakang. Ajaranku juga tidak ingin merusak. Tapi …

Jalak Manitis
Bukalah hatimu, Dhi… pandanglah aku… kita tidak berbeda.
Masih ada samudra waktu untuk berbenah dengan qonaah dan hati yang ramah.



Gedhe Lemah Kuning
Terima kasih Kakang… Aku hormat padamu. Tapi biarlah aku tetap seperti ini. Tak ada gunanya berubah. Aku sudah sampai pada apa yang kuinginkan. Aku hidup manembah pada Gustiku, dan telah manunggal dalam diriku. Aku kini hanyalah mati di dalam hidup. Tak bisa lagi diusik.

Jalak Manitis
Dhi, kamu hidup di alam hidup Dhi. (dengan nada haru yang dalam)

Podang Binorehan
Oo… Jadi kamu sudah bisa hidup di dalam mati, mati dalam hidup?

Gedhe Lemah Kuning
Bisa.

Podang Binorehan
Seperti apa? Yang mati tak akan berbuat apa-apa. Tak ada takut, eman dan tak pula berkehendak lagi. Apa kamu juga bisa?

Gedhe Lemah Kuning
Bisa! Dan kali inipun akan kutinggalkan semua. Mustahil aku takut. Sehelai rambut terbelah sejuta, tiada gentar menghadapi maut. Meski jiwa raga bercampur tanah dengan bumi menyatu. Aku takkan menghindar. Takdir tiada kenal mundur yang menguasai segala kejadian. Orang mati tiada merasa sakit, yang merasa sakit itu hidup yang ada di dalam raga. Bila tugas jiwa telah tunai, maka alam Aning Anung tempat kembalinya. Alam yang tentram dan bahagia. Aman damai sejahtera. Selamanya tiada ketakutan terhadap bahaya.
Kehendak pribadiku…
Mengembalikan segala yang dari Gustiku…
Kutinggalkan alam raga
Pribadiku, kembali pada Ywang Mukswaku…

MUKSWA

The End of SELESAI…
Musik dan tarian penutup.
Penonton bersorak tanpa beranjak, berharap keindahan tak pernah usai…

Hepi besdey UNY.
Semoga semakin tua bijaknya, dan semakin muda gesitnya.


Kartini Berdarah

KARTINI BERDARAH
AMANATIA JUNDA .S


TOKOH:
  1. Kartika            : Seorang gadis berusia 17 tahun. Berambut panjang dikepang dua, berkacamata besar, seorang kutu buku, pendiam dan kurang pergaulan.

  1. Kartini             : Sahabat khayalan Kartika. Seorang wanita berusia sekitar 20 tahun-an, rambut bersanggul, memakai kebaya, wajah keibuan, seperti sosok pengganti ibu sekaligus sahabat bagi Kartika

  1. Friska              : Seorang gadis kaya. Berusia 17 tahun. Berambut ikal, cantik, ramping, tinggi. Ketua geng Perfume. Mempunyai sifat sombong, dan sewenang wenang.

  1. Lena                            : Seorang gadis berusia 16 tahun, anggota geng Perfume. Jangkung, berambut pendek. Agak tomboy. Sering main tangan.

  1. Windi              : Seorang gadis berusia 17 tahun, anggota geng Perfume. Seorang playgirl, centil, kurang pandai dalam pelajaran.


  1. Resnaga           : Sahabat Kartika sejak kecil. Seorang pemuda berusia 17 tahun. Tinggi sedang, berpenampilan sederhana. Ramah, setia, dan baik hati.

  1. Malvin              : Seorang idola sekolah, berusia 18 tahun, tampan, angkuh, berpenampilan keren. Kekasih Friska.

  1. Bu Sartika        : Ibu Kartika. Berusia sekitar 45 tahun, seorang wanita karier, janda, penuntut pada anak semata wayangnya, dan over protektif.

SETTING :

Panggung dibagi menjadi 2 bagian, kanan dan kiri. Bagian kanan merupakan kamar Kartika. Didominasi warna putih. Terdapat sebuah ranjang kayu kecil bersprei putih motif bunga bunga, sebuah meja belajar kayu dengan lampu duduk dan tumpukan buku biografi RA. Kartini, dan kursi putar putih. Keduanya menghadap ke penonton. Latar belakang adalah dinding kamar berwarna putih dengan gambar gambar RA Kartini ukuran A3. Di awal cerita akan ditambahkan sebuah cermin ukiran dari Jepara. Terbuat dari bingkai kayu berukir dengan cermin yang dapat membuka dan menutup, untuk tempat keluar masuk Kartini dari belakang panggung.
Bagian kiri, 2 kali lipat luasnya daripada kamar Kartika. Sebuah ruang kelas dengan bangku bangku kayu, papan tulis dan meja guru. Latar belakang dinding kelas bercat biru muda dengan jendela jendela besar dan gambar gambar pahlawan. Terdapat pintu di salah satu sisi dinding samping yang menghubungkan ke belakang panggung.



                                             ADEGAN 1         

Narator : (Mengutip salah satu penggalan surat Kartini yang tidak dipublikasikan. Diiringi suara dentingan gitar, pelan)
Daripada mati itu akan tumbuh kehidupan baru.
Kehidupan baru itu tiada dapat ditahan tahan, dan meskipun sekarang dapat juga ditahan-tahan, besoknya akan tumbuh juga dia, dan hidup makin lama makin kuat makin teguh.
Kamar Kartika
Kartika                        : (memakai piyama, sedang membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang disusun oleh Armijn Pane, di meja belajar. Airmuka serius, lampu duduk menyala.)
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dan suara panggilan untuk Kartika.
Bu Sartika       : Kartika? Kartika?! Buka pintunya! Hari masihlah sore, gemarkah kau  untuk tidur? Bukalah! Lekas!
Kartika                        : Menghela napas panjang, kemudian menutup bukunya dan bangkit untuk membuka pintu.
Bu Sartika       : Astaga! Sesore ini kau sudah siap berpiyama? Bisakah kau tidak bermalas malasan saja? (Menatap Kartika tak percaya, tangannya membawa tas tangan kecil. Dibelakangnya 2 orang pesuruh menggotong sebuah benda setinggi 2 meter  berbungkus kertas cokelat.)
Kartika                        : Ma, Kartika sedang baca buku, bukan sedang tidur. (Bela Kartika pelan, sambil mengangkat buku Habis Gelap Terbitlah Terang)
Bu Sartika       : Oh terserahlah, kau pasti membaca buku cerita. Itu sama saja dengan tidur. Sia-sia belaka. Pak, bawa masuk kesini (masuk ke dalam dan menunjuk dinding) Letakkan disini saja, ya bagus, kalian bisa keluar. Terimakasih.
Setelah 2 pesuruh tersebut keluar
Kartika                        : Apa ini Ma? (Menghampiri benda tinggi bungkusan cokelat tersebut, penasaran)
Bu Sartika       : (Duduk di tepi ranjang sambil melepas sepatu hak tingginya) Mama bawakan oleh oleh untukmu. Bukalah, kau pasti suka. Itu dari Jepara. Asli! (Tersenyum sambil menunjuk bungkusan tersebut pada Kartika.)
Kartika                        : lukisan RA Kartini, Ma?! (segera menyobek bungkusan tersebut dengan bersemangat).
Sartika             : Bukan, itu lebih bermanfaat buatmu.
Kartika                        : (Tertegun mendapati sebuah bingkai kayu jati. Selebar setengah meter dan setinggi 2 meter. Sekeliling tepinya penuh dengan ukir ukiran berbentuk sulur sulur. Kaki cermin juga berukir berbentuk bonggol akar yang kokoh. Warna bingkai cokelat tua berpelitur mengkilat.)
Sartika             : Kenapa? Kau tak suka cermin itu?
Kartika                        : Buat apa Ma? Tika rasa cermin ini terlalu besar untuk kamar ini. (berkata lirih sambil melirik bingkai kayu tersebut tanpa minat) Oh ya! (serunya mendadak) Kartika sedang baca buku RA Kartini, Ma… bagus sekali ceritanya. Mama mau baca? (menyodorkan buku Habis Gelap Terbitlah Terang dengan wajah berseri)
Bu Sartika       : Tika! Berhentilah baca buku buku konyol seperti ini! Sekarang bukan saatnya kau mengenang jasa Kartini. Tapi manfaatkanlah jasanya sebaik mungkin. Mana prestasi yang dapat kau berikan buat Mama? Kerjakan tugasmu dan belajarlah yang tekun. Harusnya kau bersyukur emansipasi menjadikanmu pelajar sampai sekarang dan mama seorang manager perusahaan besar.” (berucap lantang)
Kartika                        :  Mama sama sekali tak berminat baca ini? (masih menyodorkan buku tersebut)
Sartika             : Ya.. ya..ya.. Mama akan baca jika mama sudah pulang dari dinas ke Bandung 2 minggu ini. Oke?  
Kartika                        : Tapi Mama kan baru saja pulang dari Semarang? (meletakkan buku itu kembali ke meja belajar)
Bu Sartika       : Mama mendadak ditugaskan atasan untuk mengurusi proyek yang baru. Sudahlah, mama capek. Mama hendak istirahat (bangkit, sambil menguap) Oh ya, cermin itu gunakan baik baik. Kau harus banyak merias diri, berlatih berbicara di depan umum dan menjadi seorang gadis teladan yang menyenangkan.
Kartika                        : Maksud Mama?
Bu Sartika : Bulan depan ada pesta peresmian kantor baru Mama. Kau harus ikut, mama ingin mengenalkanmu dengan anak kolega mama. Malam Sayang.. (mengecup kening Kartika lalu beranjak keluar)

ADEGAN 2

Pagi hari. Sebuah kelas dengan bangku bangku yang masih kosong dan beberapa bungkus bekas jajan berserakan. Seorang pemuda tampan sedang duduk di meja guru smbil mendengarkan sebuah lagu dari Ipod. Seorang pemuda sederhana membawa sapu menghampirinya.

Resnaga           : Malvin, hari ini piketmu. (menyodorkan sapu)
Malvin             : (Acuh, Kepalanya bergoyang goyang menikmati lagu)
Resnaga           : Malvin, hari ini piketmu! (berteriak lebih nyaring)
Malvin             : (Masih tetap acuh. Bahkan lebih keras menggoyang goyangkan kepalanya)
Kartika                        : Biar aku saja, mana sapunya? (tiba-tiba muncul dari balik pintu)
Resnaga           : Mengapa kau begitu baik hati? Malvin tak pernah piket, kau tahu? (protes, agak keras menunjuk Malvin. Sedangkan Malvin melepas earphone)
Kartika                        : Karena aku.. aku… (gugup, terbata-bata saat melihat Malvin menatapnya tajam)
Friska              : Karena dia memang seorang pembantu! Ha.. ha.. ha.. (tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan suara yang nyaring. Dibelakang, Lena dan Windi mengikutiku sambil terkikik)
Windi              : Oh, sungguh malang.. udah kuper, culun, kacamata pantat botol, pembokat lagi! Hi..hi..hi..
Lena                : Nih, sekalian ngepel lantai! (melempar kain lap yang ada di salah satu bangku)
Resanaga         : Kalian jangan seenaknya pada Kartika. (merebut sapu dari tangan Kartika)  Malvin, piketlah! Apa kau tak malu kewajibanmu diambil alih Kartika?
Malvin             : Bah! Aku laki-laki. Menjijikkan sekali aku harus menyapu. Itu memang tugas perempuan! (Melempar sapu ke lantai) Ayo kita pergi! (menggandeng Friska, keluar diikuti Lena dan Windi yang menyibir ke arah Resnaga dan Kartika)
Resnaga           : (Mendesah panjang, menatap Kartika dengan iba) Aku tak habis pikir. Mengapa kau selalu mengerjakan tugas tugas Malvin dengan ringan tangan?
Kartika                        : (terdiam beberapa saat) Res, apa kau tak pernah mendengar cinta itu butuh pengorbanan? (berujar pelan kemudian beranjak pergi)
Resanaga         : (Mengambil sapu, dan menyapu perlahan) Aku telah lama berkorban untukmu Kartika… Hanya saja kau tak pernah tahu. (bergumam lirih)


ADEGAN 3
Sore hari, Kamar Kartika…
Kartika masuk ke dalam kamar, masih mengenakan seragam sekolah. Menghampiri meja untuk meletakkan tas dan bukunya. Kemudian berjalan menghampiri cermin Jepara.

Kartika                        : Indah nian kau cermin.. wahai benda antik dari Jepara. (mengelus ukir ukiran di tepian cermin, perlahan)  Kau ingatkanku pada Ibu Kartini.. andaikan kau adalah penghubung masa ini ke masa lalu, akan kutemui Ibu Kartini.. akan kuceritakan semua jasanya telah mengubah zaman dan nasib perempuan. Namun aku masih terkukung disini.. layaknya Ibu kita dipingit dan tak kuasa menanggung senyap… (bernada sedih, meratap) Oh, betapa sunyinya hidupku. Tak pernah dicinta dan Malvin tak pernah menoleh padaku, haruskah aku mengubah diriku menjadi gadis gadis seperti geng Parfume? Andaikan, Ibu Kartini kemari… mungkin aku akan menjadi gadis paling beruntung di dunia.
Tiba-tiba lampu kamar padam, cahaya merah berkerlap kerlip, terdengar suara desauan angin.
Kartika : (tersentak kaget) Oh, ada apakah ini? (ketakutan, berlari naik ke atas ranjang)
Sesosok wanita muncul dari bingkai cermin Jepara, melangkah keluar. Menghampiri ranjang. Lampu kembali menyala terang dan suasana kembali normal.
Kartini             : Nduk, tenanglah… iki ibumu. (tersenyum lembut)
Kartika                        : Siapa kau?! (semakin duduk menyudut di ranjang, memeluk kedua lututnya. Wajahnya luar biasa ketakutan)
Kartini             : Aku Kartini. Aku yang selama ini kau tuturkan di lembaran lembaran kertas buku harianmu. Aku yang selama ini kau rayakan setiap tanggal 21 April, sama dengan hari lahirmu juga kan, Nduk?
Kartika                        : (Mulai tenang, mengendurkan pelukan lututnya.) Kau Kartini? Raden Ajeng Kartini? Benarkah? Bagaimana kau bisa tahu aku?
Kartini             : (Tersenyum lebih ramah) Ya, aku Raden Ajeng Kartini. Namun, apalah arti sebuah status ningrat jika Raden Ajeng harus hidup di penjara sangkar emas? Dikelilingi 4 tembok serasa kebebasan adalah kebahagiaan terbesar.
Kartika                        : Bagaimana Ibu bisa datang kemari? Sudikah ibu bersahabat dengan gadis memalukan seperti saya ini?
Kartini             : Oh, Nduk… tiada boleh kau berkata seperti itu.
                        Ingin benar hatiku berkenalan dengan seorang anak gadis modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang aku sukai dengan hati jantungku. Anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah tangkas, yang berdaya upaya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk bangsa… Ibu datang dari jauh untuk mendengarkan segala kegundahan hatimu. Anggaplah aku sahabat penamu yang akhirnya berkunjung menengok seperti tatkala aku bersua dengan Nyonya Abendanon.
Kartika                        : (Menghambur, memeluk Kartini, terisak isak) Ibu…! Kartika rindu sekali pada Ibu. Setiap malam Kartika diam diam membaca buku tentang Ibu. Berhati hati kalau Mama sampai menangkap basah Kartika, dan membuang segala yang Kartika koleksi tentang Ibu.
Kartini             : Sshh… (membelai rambut Kartika) Yakini, ibu juga merindukan sosok gadis berhati suci sepertimu. Tidurlah, besok kau sekolah bukan? Betapa beruntungnya dirimu yang hidup di dunia pencinta kebebasan. Bukankah begitu, Nduk?
Kartika                        : (Mengangguk lemah) Ibu benar. Emansipasi menghapus diskriminasi untuk golongan kita. Dan ibu pasti senang melihat jasa ibu terlampau besar untuk Indonesia.
Kartini             : Aku tahu jalan yang hendak aku tempuh itu sukar, banyak duri dan onaknya dan lubang lubangnya. Jalan itu berbatu batu, berlekuk-lekuk, licin, jalan itu.. belum dirintis! Dan biarpun aku tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, aku akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya kini telah terbuka lebar.

ADEGAN 4

Sebuah kelas, terdengar suara gaduh dari 3 orang siswi. Friska, Lena, dan Windi.

Friska              : (Duduk di meja, airmuka cerah) Oh, kemarin malam adalah pesta terkeren sepanjang hidupku. Seperti mandi keringat aku ikut dugem di dancefloor. 4 kali aku bolak balik ganti pasangan. Sungguh menyenangkan!
Wndi               : Iya, tentu saja kau bolak balik ganti pasangan.. bukankah kita bertiga sungguh seksi tadi malam?
Friska              : Ya jelaslah. Apalagi kau kemarin mabuk berat Windi. Hei, tidak ingatkah kau? Kemarin kau membuka setengah bajumu dan bergoyang sungguh panas!
Windi              : Oh ya?!(Memekik girang) bagaimana reaksi cowok cowok itu?
Lena                : Wow! Mata mereka seketika hijau! Dan langsung teler melihatmu!
Friska              : Air liur mereka sampai menetes di gelas cocktail.
Friska, Lena, Windi :tertawa bersama, nyaring. Kartika muncul dari balik pintu, tangannya mendekap tumpukan buku.
Lena                : Hai, kau! Kesini…. Cepat! (menunjuk Kartika, tawa mereka menghilang. Wajah wajah centil berubah menjadi beringas)
Kartika berjalan menunduk, ketakutan.
Friska              : Jalan lelet amat! Rupanya hendak bersaing dengan kura-kura! Darimana saja kau, Kuper?! (Membentak)
Kartika            : (Tergagap) Da.. da.. ri.. P..per pustakaan
Lena                : Hei! Ngomong yang tegas! (menepuk pipi Kartika)
Windi              : Iya nih, berminat ya jadi gadis sok bisu? Udah kuper, siapa yang mau repot repot melirikmu? Apalagi.. hi..hi..hi.. lihat deh, apa bawaannya?
Friska              : (meloncat turun dari meja, berdiri dan segera merebut buku buku yang didekap Kartika) Ya ampun! Hari gini… nggak salah baca, kau? Kartini? Memang masih zaman? Hm… (membaca satu persatu judul buku buku) ada RA Kartini, Kartini Sebuah Biografi, dan.. astaga! Judul jadul banget nih, Habis Gelap Terbitlah Terang. Eh, pernah dengar nggak kalian? (menoleh ke Windi dan Lena yang menggelengkan kepala bersamaan sambil mencibir)
Windi              : Yang aku tahu sih adanya Habis gelap total terbitlah tagihan PLN, belum bayar listrik kaleee…
Friska dan Lena: (tertawa terbahak, bersamaan) Ha.. ha.. ha
Kartika                        : (Berusaha merebut buku yang dipegang Friska) Kembalikan! Kembalikan.. buku itu!
Friska              : Oh, Dear… Len, tahan dia! (memerintah keras. Segera Lena mengunci kedua lengan Kartika ke belakang punggungnya) Coba kita baca sekilas buku macam apa ini, Sobat. (Berdehem, dengan mimik sok serius, membuka salah satu halaman buku RA Kartini karangan Tashadi) Denger ya, salah satu kutipan surat Ibu kita tercinta “Selama ini hanya satu saja jalan terbuka bagi gadis Bumiputera akan menempuh hidup, ialah kawin.”
Friska, Lena, dan Windi         : Tertawa tergelak.
Lena                : Hari gini.. kawin? Emang Siti Nurbaya?
Windi              : Wah, wah, wah pantas saja kau jadi anak kuper.. bacaanmu masih seputar zaman tempoe doeloe… parah!
Friska              : Oke, sebagai teman yang baik bagaimana kalo kami membantumu sembuh dari ke-kuper-an? (tanpa menunggu jawaban dari Kartika yang sibuk melepaskan diri dari cengkeraman Lena, kini Friska merobek buku tersebut)
Kraak… Kraak.. Kraak.. Segera lembaran buku Kartini berserakan di lantai kelas. Kemudian dengan bernafsu Friska dan Windi menginjak injaknya.
Kartika            : Kumohon hentikan…! Jangan disobek! Kumohon… (Kartika berontak kemudian Lena mengendorkan cengkeramannya. Seketika Kartika menyerang Friska untuk menghentikannya)
Friska              : Nih, kita nggak butuh baca ginian! (melempar buku buku Kartini ke lantai dan segera menginjaknya juga)
Kartika menunduk dan melindungi buku buku tersebut. Berkali kali Friska dan kedua teman temannya menendang Kartika.
Lena                : Rasakan! (menendang keras) Dasar penyembah buku!
Malvin muncul dari balik pintu, menggeleng gelengkan kepala melihat Geng Parfume sedang menyiksa Kartika.
Malvin             : Sudah hentikan Friska, Lena, Windi! (seru Malvin agak keras)
Friska              : Tapi Babe, anak ini rese’ sekali tadi, Huh! Masa’ aku sama anak anak tidak dicontekin pas ulangan Fisika? (menghentikan acara menyiksa lalu menghampiri Malvin dan mengeluh manja)
Malvin             : Salah kalian sendiri tidak belajar. Sekarang berhentilah main mainnya, katanya kita mau jalan-jalan?
Friska              : (mengangguk dan tersenyum manis) Ayo, kita tinggalkan dia!
Setelah keempat murid tadi pergi keluar dari kelas, Resnaga muncul dan keheranan melihat Kartika sedang memunguti sobekan kertas dan berusaha menyusunnya.
Resnaga           : Kartika? Kok belum pulang?
Kartika            : (Menoleh ke asal suara, memaksakan senyum) Oh, kau.. Res. Iya, aku habis dari perpus.
Resanaga         : Kau sedang apa? Hei, apa yang terjadi? (Menghampiri Kartika dan membantu memunguti buku buku yang berserakan)
Kartika                        : Aku sedang melindungi harta bangsa. Sisa sisa pengabdian ibu kita.
Resnaga           : Ibu kita? Siapa?
Kartika                        : (terbelalak, menatap Resnaga tak percaya) Tak tahukah kau? Raden Ajeng Kartini! Beliau Ibu kita semua bukan? Beliau sungguh baik hati. Beliau sangat keibuaan, belaiannya sangat lembut… ah, aku masih bisa merasakannya. (menyentuh rambutnya) Hm, kira-kira sekarang Ibu sedang apa ya?
Resnaga           : Kartika, kau baik baik saja kan? (menyentuh kening Kartika dengan lembut)
Kartika                        : Apa maksudmu?! (menepis tangan Resnaga dengan kasar)
Resnaga           : Aku mengkhawatirkanmu. Lagipula... bukankah Kartini sudah tiada? Bagaimana bisa kau merasa belaiannya?
Kartika                        :  Beliau masih hidup kok! Beliau sengaja datang dari jauh untuk menemaniku. Ah, sudahlah. Pasti kau tak kan percaya. Lebih baik aku pulang saja. Sampai jumpa. (Berdiri, memasukkan buku buku ke dalam tas dan kemudian beranjak pergi)

ADEGAN 5
Sore hari, kamar Kartika
Bu Sartika       : (Berdiri mondar mandir sambil sesekali menengok jam tangan yang melingkar di lengan kirinya) Oh, hari sudah sore. Kartika tak kunjung pulang, kemana saja anak itu? Tak tahukah dia kalau hari ini Keluarga Gana akan berkunjung kemari?
(tiba-tiba perhatiannya tertarik pada sebuah buku agenda bersampul merah di atas meja belajar) Diary? Kartika menulis Diary? Hm… boleh juga. Aku penasaran dengan isinya. (Duduk, dan mulai membaca buku agenda tersebut)
Tiba-tiba Kartika muncul dari balik pintu.

Kartika                        : Mama? (melirik buku agenda yang langsung dikembalikan mamanya di atas meja) Mama baca diary-ku?! (agak keras)
Bu Sartika       : Iya. Apa tidak boleh? Kau adalah anak Mama. Urusan pribadimu otomatis urusan Mama juga.
Kartika                        : Tapi Ma…
Bu Sartika       : Tapi apa? Mama tahu kamu sekarang sedang menyukai teman kelasmu. Siapa Malvin itu?
Kartika                        : (Terdiam, menunduk)
Bu Sartika       : Dengarkan Mama Kartika. Kau harus jatuh cinta pada lelaki yang tepat! Jangan sampai kau mendapat lelaki brengsek seperti papamu. Turuti saja pilihan Mama. Kau pasti suka. Sekarang lekaslah mandi dan berdandan yang cantik. Keluarga Gana akan datang dan makan malam bersama kita.
Kartika            : (Mendongak)  Siapa mereka Ma?
Bu Sartika       : Tentu saja calon keluarga barumu! (Keluar dari kamar Kartika)
Kartika                        : (Terduduk lemas di ranjangnya. Memeluk buku RA Kartini. Mulai terisak sedih)
Tiba-tiba Kartini keluar dari bingkai cermin Jepara. Kemudian berjalan menghampiri Kartika, duduk di sampingnya dan membelai rambut Kartika dengan lembut.
Kartini             : Anakku, ceritakanlah semuanya pada Ibu, agar lapang dadamu.
Kartika                        : Hiks… Ibu… saya hendak dijodohkan hiks.. oleh Mama saya. Saya nggak mau. Saya mencintai pemuda lain. (terisak semakin keras)
Kartini             :  Cinta, apakah yang kau ketahui tentang perkara cinta itu? Betapa kau akan mungkin sayang akan seorang laki laki dan seorang laki laki kasih akan kau, kalau kau tiada berkenalan bahkan yang seorang tiada boleh melihat yang lain? Aku berkehendak bebas, supaya aku boleh dapat berdiri sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan… jangan sekali kali dipaksa kawin!
Kartika                        : Ibu, mengapa hidup saya sangatlah sengsara? Saya tak pernah bahagia tak terkira terkeculai bertemu dengan ibu. Hanya ibu yang mengerti hati saya. Maafkan saya Bu, tidak bisa melindungi buku buku tentang ibu. Teman teman kelas saya menyobeknya tadi siang dan mereka selalu menyiksa saya.
Kartini             : Aduh, Tuhan, ya Tuhan! Sedih hati melihat kejahatan sebanyak ini di sekeliling diri, sedang diri tiada berdaya akan menjauhkannya! Sabar ya Nduk…

ADEGAN 6
Di kelas, suatu siang…
Malvin dan Friska tampak bermesra-mesraan di kelas yang kosong. Mereka saling menggoda, dan tertawa. Kemudian Friska bergelayut manja pada Malvin. Mereka berdua berpegangan tangan. Dari arah pintu, Kartini berjalan cepat sambil menunduk. Ia terperangah melihat pemandangan tak pantas di kelas. Seketika buku buku yang didekapnya jatuh berdebam ke lantai.

Malvin             : Oh kau Tik, aku kira guru. (refleks melepas genggaman tangannya dengan Friska)
Friska              : Hei, kuper! Ngapain kesini? Ganggu orang pacaran saja! (membentak dengan keras)
Kartika                        : Ma.. maaf.. aku.. nggak tahu kalau kalian..
Friska              : Nggak tahu apa? Bilang saja iri! (Berkacak pinggang kemudian bangkit berjalan menghampiri Kartika)
Windi dan Lena masuk ke dalam kelas.
Lena                : Apa ini? (Memungut buku agenda yang terjatuh bersama buku buku yang lain)
Kartika menoleh, terkejut.
Lena                : Lihat! Ck.. ck.. ck.. tak kusangka! (Menunjukkan sebuah halaman dari agenda tersebut ke teman temannya. Sebuah tulisan dengan huruf besar besar berbunyi AKU CINTA MALVIN)
Friska              : (Mendelik marah) Kau cinta Malvin? Kau menyukai cowokku? Bisa-bisanya kau… Plak! (menampar Kartika dengan keras)
Malvin menghampiri mereka berdua. Kemudian mengambil alih agenda yang dipegang Lena dan tertawa terbahak bahak.
Malvin             : Wah wah wah, aku tak menyangka tipe cowokmu seperti aku Tika. Kiranya seperti Resnaga yang culun.
Lena, Windi dan Friska : (Ikut tertawa keras)
Malvin             : Kartika.. Kartika.. bercerminlah dulu sebelum kau menyukai seseorang! Kau itu SANGAT TIDAK PANTAS buatku yang kaya, tampan dan idola semua cewek! Maaf Kartika… lebih baik kau berhenti menulis namaku di diarymu, buang buang kertas saja. (Menghmapiri Lena dan meraih agenda tersebut. Dibolak baliknya dengan antusias)
Windi              : Iya, kau itu seperti pungguk merindukan bulan!
Lena                : Bukan, tapi seperti langit dan bumi!
Friska              : Eh, salah lagi. Lebih mirip Kutu dan pangeran!
Malvin dan geng Parfume:  (tertawa sangat keras)
Malvin             :  Dasar gadis lugu. Ayo kita pergi! (Merangkul Friska yang tertesenyum sinis pada Kartika yang sedari tadi menunduk)
Lena dan Windi pun beranjak keluar mengikuti mereka.
ADEGAN 7
Kamar Kartika
Kartini              : (Berjalan mondar mandir, bergumam sendiri) Oh, anakku yang malang… aku tahu semua perbuatan keji yang dilakukan mereka! Seperti Belanda menjajah anak pribumi. Namun, pantaskah saudara menjajah saudara sendiri? Tiada satu pun jua yang boleh menyakiti Kartika.
Kartika             : (Muncul dari balik pintu) Aku pulang…
Kartini              : Masuklah Nduk. Ssh.. jangan berkata apa pun. Ibu tahu perasaanmu.
Kartika                       : Bagaimana Ibu bisa tahu?
Kartini             : Apa kau lupa dengan tujuan ibu kemari? Setiap hari aku melihat lihat dunia masa sekarang yang sangat pesat peradabannya. Namun, aku iba hati ini tatkala aku menjumpai berbagai macam perempuan seperti mereka. Karena bukan barang yang indah indah saja yang menjadi terlihat olehku.
Kartini             : Maksud ibu? Perempuan yang seperti apa?
Kartini             : (Menghela napas panjang sambil duduk di kursi) Apalah artinya perjuangan ibu selama ini? Emansifatie yang mendarah daging telah disalahgunakan.
Kratika                        : (Duduk di tepi ranjang) Maksud Ibu? Kartika semakin tak mengerti. Jasa Ibu sungguhlah besar.
Kartini             : Namun mereka tak tahu bagaimana mengamalkannya! Ibu tak kan berjuang jika akhirnya mengetahui betapa mengerikan sikap perempuan masa ini. Mereka berjalan dengan busana ala kadarnya, seperti memang lebih mengasyikkan tuk telanjanng. Emansipasi juga telah mengubah mereka untuk terus mengejar pekerjaan dan menyiakan suami dan anak anak mereka. Pantaskah perempuan seperti itu? Mereka tiada boleh melupakan sama sekali adat dan norma. Oh, namun betapa memalukan mereka berjalan, bernapas, bertingkah layaknya peerempuan binal tak punya urat kemaluan! (suaranya sangat lantas dan penuh emosi)
Kartika                        : Oh, ibu. Sungguh besar derita dan bebanmu. Namun, masih banyak perempuan di bumi Indonesia yang mempunyai akhlak mulia seperti Ibu.
Kartini             : Ya, kau benar Anakku. Alangkah susahnya dan sedihnya akan patah rasanya hidupku. Jika semua yang kutuangkan dalam ratusan lembar surat dinodai oleh tinta yang lebih pekat. Namun aku tahu, diliteran tinta kami masih memiliki asa. Dan kau pikul cita citaku selanjutnya, kau emban dan kau simpan dalam sanubari terdalam. Engkau jiwa yang suci Nduk.. jangan sampai ternoda.
Kartika                        : Ah, aku hanyalah gadis lemah, rapuh dan tak berdaya. Sia sia saja aku, jika orang yang kukasihi pun mengolokku.
Kartini             : Hapus airmatamu, sudah saatnya kau hapus noda yang mengotori halaman halaman kisah hidupmu.

ADEGAN 8

Sore hari, Ruang kelas yang kosong…

Windi              : (Berdiri membelakangi pintu masuk. Menelepon seseorang dengan suara yang sangat manja dan centil) Iya.. Sayang… aku habis ini tunggu kau di depan gerbang sekolah ya? Jangan ngaret lho! Awas! Nanti kita booking tempat yang biasanya saja. Iya, ngerti nggak sih maksudku? Aku lagi bokek nih, Om..
Tiba-tiba sosok hitam masuk ke dalam kelas. Sosok tersebut memakai jubah hitam panjang dan tudung yang melindungi wajahnya. Tangan kanannya memegang sebuah pisau tajam.
Windi              : Oke deh Sayang… sampai ketemu nanti (menutup pembicaraan, berbalik dan seketika berteriak tertahan)
            Windi jatuh tersungkur di lantai kelas dengan darah membanjir dari perutnya.

ADEGAN 9
Kamar Kartika
Bu Sartika       : (Geleng geleng kepala sambil mengecek thermometer) Astaga Kartika! Badanmu panas sekali! Kau harus banyak beristirahat. Jangan baca buku buku cerita lagi. Pasti kau kecapekan.
Kartika                        : (Membisu di balik selimut tebal)
Bu Sratika       : Kau harus makan yang banyak. Nanti Mama pesankan bubur ayam kalau lewat depan rumah.
Kartika                        : (Masih membisu. Tangannya mendekap erat diary dan gambar RA Kartini)
Bu Sartika       : Oke, terserah kau saja. Ibu capek melihatmu akhir akhir ini seperti kehilangan gairah hidup. Tapi Ibu tak bisa menungguimu lebih lama. Ada meeting di kantor hari ini. Jadi, kalau ada apa apa kau hubungi Mama lewat telepon saja.
Kartika                        : (Masih membisu. Tatapan matanya kosong ke depan)
Bu Sartika       : Sampai jumpa nanti malam Sayang… (mengecup dahi Kartika kemudian keluar)

ADEGAN 10

Pagi hari, Sebuah kelas yang kosong..  
Masih sosok yang sama, memakai jubah hitam dan tudung. Duduk di salah satu bangku sambil menunduk. Beberapa saat kemudian Lena dan Friska masuk ke dalam kelas. Langkah mereka terhenti ketika menjumpai sosok berkerudung hitam duduk tak bergerak.
Friska              : Siapa kau?! (Berteriak nyaring, air mukanya mendadak berubah ketakutan)
Sosok itu masih tidak bergerak.
Lena                : Fris.. apa jangan-jangan… Dia yang ngebunuh Windi? (Dengan nada takut bercampur ragu)
Friska              : Aku nggak tahu. Hei, jawab! Kau tuli ya? Kau siapa? Jangan bercanda! Ini nggak lucu!
Masih tak ada reaksi.
Lena                : Oke, sebentar Fris.. jangan jangan dia orang gila yang ketiduran di kelas. Aku akan buka kerudungnya (Hendak berjalan menghampiri sosok tak bergerak tersebut)
Friska              : (Menahan lengan Lena) Jangan Len! Aku takut! Lebih baik kita lapor guru atau kepala sekolah.
Lena                : Ya ampun Friska.. gini aja takut. Kau lupa aku sudah pegang sabuk hitam?
Friska              : Tapi… (ragu-ragu, airmukanya masih sangat cemas)
Lena                : Sudah, diamlah disini.. (Lena berjalan dengan penuh waspada,  semakin mendekat ke sosok tersebut)
Lena sudah berdiri di depan bangku dimana sosok itu duduk tak bergerak. Tangannya terjulur hendak membuka tudung kepala sosok tersebuk. Namun, secepat kilat sosok itu bergerak, bangkit dan langsung menusukkan pisau yang sedari tadi dipegangnya di balik jubah,  ke perut Lena.
Friska              : AAAAAAAA…! (Memekik nyaring dan segera berlari keluar kelas)

ADEGAN 11
Kamar Kartika
Kartika masih sakit. Ia setengah berbaring di ranjang. Menulis sesuatu di agendanya.
Pintu membuka, Kartini masuk ke dalam kamar dan tersenyum melihat Kartika.

Kartika                        : (Menoleh, kemudian membalas tersenyum, lemah) Ibu darimana saja?
Kartini             : Tidak begitu penting. Hanya menghapus noda. (Berjalan menghampiri Kartika dan memegang keningnya dengan lembut)
Kartika                        : Itu apa? (Menunjuk bungkusan tas plastik hitam yang dibawa Kartini)
Kratini             : Oh, ini… tidak penting kok. Bagaimana keadaanmu Nduk? Mau ibu buatkan wedang jahe? Atau bubur? (sambil memasukkan bungkusan itu ke kolong ranjang.
Kartika                        : Nggak perlu Bu. Saya sudah agak mendingan. Mungkin besok saya sudah diijinkan Mama masuk sekolah. Mmm.. Ibu terlihat letih. Ibu mau tidur di samping saya?
Kartini             : (Mengangguk kalem) Ya, ibu sangat lelah. Bolehkah ibu tidur dekat dinding? Rasanya pasti dingin.
Kartika                        : Tentu saja, dengan senang hati (bernada cerai, langsung bangkit menggati posisi tidurnya).

Kartini naik ke ranjang dan langsung tertidur lelap. Sedang Kartika masih sibuk menulis diary sambil sesekali memandang Kartini. Tiba-tiba penanya terjatuh ke lantai. Kartika bergegas turun dari ranjang, hendak memungut penanya. Namun, perhatian sejenak teralih saaat melihat bungkusan hitam milik Kartini. Dengan hati hati ditariknya keluar bungkusan tersebut dari kolong ranjang.

Kartika                        : Hm.. apa yah ini? Ibu Kartini kemana saja sih seharian ini? Tumben juga bawa oleh oleh… (Membuka tas plastik tersebut. Ia menemukan jubah hitam dan sebilah pisau berlumuran darah. Kartika memegang benda benda tersebut dengan airmuka ketakutan. Ia bolak balik memandang Kartini yang masih tertidur membelakanginya ke benda benda tersebut) Untuk apa jubah dan pisau? Lantas ini darah siapa?
  
ADEGAN 12

Kelas
Tampak Malvin sedang menemani Friska yang sedang bercerita dengan ekspresi sedih. Resnaga duduk di sudut sedang menulis sesuatu.
Friska              : Windi dan Lena adalah sahabat sahabat terbaikku Vin. Aku nggak rela kalau kehilangan mereka. Apa salah mereka? Apa maksud pembunuh itu?
Malvin             : Tenanglah Fris.. masih ada aku kok. Setidaknya kau belum kehilangan Lena. Dia masih di rumah sakit. Aku juga nggak tahu salah mereka apa.
Friska              : Aku takut kalau… kalau… kalau  habis ini giliranku yang dibunuh.
Malvin             : Sst… jangan berkata begitu, sekarang kau aman kok. Sekolah sudah dijaga ketat oleh polisi.
Kartika masuk ke dalam kelas.
Kartika                        : Pagi… (menyapa dengan pelan, datang dan keheranan melihat wajah wajah duka di kelas)
Malvin dan Friska bangkit dari duduk tanpa berkata apa pun pada Kartika mereka keluar.
Resnaga           : Tika, kau sakit apa? (Segera menghampiri Kartika, cemas)
Kartika                        : Cuma demam biasa kok. Ada apaan sih? Kenapa anak anak mendadak aneh. Wajah mereka seperti penuh ketakutan dan kesedihan. (Meletakkan ranselnya dan duduk)
Resnaga           : Sekolah ini diteror. Ada 2 kasus pembunuhan selama 2 hari ini.
Kartika                        : Pembunuhan?! Bagaimana bisa? (terbelalak kaget) 
Resnaga           : Tika, Windi telah meninggal dengan sangat tragis. Dia ditusuk di kelas. Kemarin Lena dan Friska juga hendak dibunuh. Tapi, hanya Lena saja yang berhasil ditusuk. Keadaannya sekarang kritis di rumah sakit. Diperkirakan pembunuh keduanya sama.
Kartika                        : Lantas siapa pembunuhnya?
Resnaga           : Entahlah. Polisi masih menyelidiki teror ini. Polisi hanya dapat keterangan dari Friska bahwa pembunuh itu memakai jubah daan tudung hitam. Wajahnya tak tampak. Dia membawa sebilah pisau.
Kartika                        : Jubah hitam? Pisau, katamu? (Terdiam sejenak) Tidak… ini tidak mungkin.. (Menggelengkan kepala dengan tak percaya)
Resanaga         : Ada apa Kartika? Kau mengenal pembunuhnya? Kau tahu? Siapa?
Kartika                        : Res… pembunuhnya.. pembunuhnya adalah Ibu Kartini. Aku harus menemuinya sekarang! (berdiri dan berlari dengan tergesa keluar kelas)
Resnaga           : Tik, tunggu! TIK! (Berteriak sambil mengacungkan Map Folder yang tertinggal di meja) Ada apa dengan anak itu? Akhir akhir ini dia tampak aneh. (Bergumam sendiri sambil membuka folder tersebut. Di dalamnya ada agenda milik Kartik) Hm, Diary Kartika. Kira-kira dia marah nggak yah kalau aku baca isinya? (Membuka diary tersebut. Kemudian ia menemukan sebuah kertas lecek yang terselip di salah satu halaman. Dahinya mengerut serius tatkala membacanya) Target Pembunuhan? (membaca judul di kertas tersebut)

ADEGAN 13
Siang hari, Kamar Kartika
Kartika                        : Ibu, jujurlah padaku!
Kartini             : Maksud Nduk Kartika? Ibu tak paham. (duduk di tepi ranjang. Airmukanya sangat kalem)
Kartika                        : Apa… apa ibu yang membunuh teman temanku?
Kartini             : Temanmu? Teman siapa? Sejauh ini hanya ibulah temanmu Nduk..
Kartika                        : Teman sekelas Tika Bu, Windi dan Lena!
Kartini             : (Tertawa dingin, melipat tangannya. Suara berubah dingin) Apa mereka bisa disebut teman? Setiap bertemu mereka menganiayamu, menyiksamu… tak tahukah kau ibu sangat menyayangimu, Nduk?
Kartika                        : Jadi.. benar? Ibu adalah sosok berjubah hitam itu?! (berkata lirih tak percaya)
Kartini             : Ya, aku memang yang merencanakan semuanya. Target pembunuhan selanjutnya Friska.
Kartika                        : Tidak... tidak mungkin! (menggelengkan kepala kuat kuat)
Kartini             : Aku pembunuh! Kita pembunuh kaum perusak emansipasi!
Kartika                        : NGGAK! Kartini yang aku kenal bukan seorang pembunuh! Kau bukan Ibu Kartini! Kartini tak kan mungkin membunuh.
Kartini             : Apa yang kau bicarakan? Aku Kartini! Aku melindungi dirimu dari apa pun yang kau benci!
Kartika                        : Kau jahat! Pergi dari sini! Kembalilah ke duniamu! (Mendorong Kartini ke bingkai cermin)
Kartini             : (Tidak berusaha melawan) Terserah, kau akan menyesal Nduk… karena telah mengusirku. Api yang membersihkan api. Api itu juga yang menghancurkan kayu menjadi abu! Camkan itu! (menghilang dari balik cermin)

ADEGAN 14

Ruang Kelas…
Friska sedang duduk terdiam, wajahnya pucat dan sayu. Ketika Kartika muncul ia segera menegakkan badannya. Kartika datang dengan wajah tampak ekspresi. Ia menutup pintu kelas dan menguncinya.

Friska              : Ada urusan apa kau kesini? Enyahlah Kuper, aku sedang tak berselera mengolok olokmu!
Kartika                        : Aku ingin memberimu hadiah yang paling indah… (Tersenyum dingin menghampiri Friska)
Friska              : Hadiah? (Tiba-tiba melihat pisau yang digenggam erat Kartika. Ia terbelalak) Kau mau membunuhku?!
Kartika                        : Kalau iya, lantas kenapa? Kemarin kau lari, sekarang kau tak kan bisa lari lagi Friska cantik… (Berjalan semakin mendekat)
Friska              : (Berdiri merapat ke tembok) Jadi, kaulah sosok jubah hitam kemarin? Kau yang membunuh Windi kan?!Aku salah apa padamu?!
Kartika                        : Kau tanya salah apa? Kau sangat bersalah! Ha…ha..ha..  Kau telah melukai Kartika, melukai Kartini, dan melukai Pertiwi!
Friska              : Aku nggak pernah lukain siapa pun.. pergi! Jangan sakiti aku!  TOLONG! TOLONG AKU!
Terdengar pintu digedor keras
Resnaga           : Kartika! Kartika! Buka pintunya!
Bu Sartika       : Tika! Ibu mohon buka pintunya!
Kartika                        : (Terkejut, menoleh ke pintu yang masih tertutup) Pergi kalian dari sini! Aku Kartini! Aku akan membunuh wanita wanita terkutuk!
Terdengar suara keras. Pintu terdobrak. Resnaga, Bu Sartika dan Malvin masuk dengan airmuka tegang.
Resnaga           : Kartika lepaskan pisau itu! Kau bukan Kartini! Kau Tika, sahabatku sejak kecil!
Bu Sartika       : Kartika… maafkan Mama. Mama tak pernah tahu kau punya kepribadian ganda. Lepaskan jiwa jahatmu Nak
Malvin             : please Kartika… kumohon lepaskan Friska. Maafkan dia… maafkan aku juga.
Kartika                        : Persetan kalian semua!!! (Menarik tubuh Friska lalu mencengkeram leher gadis tersebut. Ujung pisau menempel di kulit mulus Friska) Jangan berani mendekat!
Resnaga           : Kartika, sadarlah! Bangunlah Tik! Kau adalah Kartika sahabat terbaikku. Kau adalah gadis baik. Kau bukan pembunuh. Dan Kartini hanya kepribadian yang tak kau sadari saja Tika. Tenangkan hatimu Tika…
Kartika                        : (Oleng, memegang tangannya. Mendadak ia merasa pusing. Cengkeramannya pada Friska mengendor, seketika Friska berhasil membebaskan diri dan berlari menghambur ke Malvin) Aku... aku… pembunuh. Aku membunuh orang orang di dekatku. Pergi dari sini! Pergi! Lekas! Aku tak mau jiwaku yang satunya membunuh kalian! Pergi! (mengacungkan pisaunya ke atas)
Resnaga           : Tidak! Aku tak mau pergi! Karena aku sangat mencintaimu…
Hening sejenak
Kartika                        : (Terisak sambil tersenyum getir) Maaf Res.. aku nggak bisa. Ak… aku.. sudah terlanjur membunuh, aku nggak mau ngebunuh Friska, Mama, Malvin dan kau… Kalau kalian tak mau menjauhiku akulah yang harus pergi.  (Menusukkan pisau tersebut ke jantungnya)
Bu Sartika       : TIDAK!!!! (melolong histeris, pingsan)

Tubuh Kartika tersungkur jatuh di lantai. Menusuk dadanya sendiri dengan pisau yang digenggamnya. Antara kehidupan dan kematian ia masih bisa tersenyum menahan sakit. Resnaga segera berlari menghampirinya.

Kartika                        : Terimakasih… Ak… aku sayang kali… an semua, khususnya eng…kau Resnaga.. Selamat tinggal. (memejamkan mata perlahan)

Narator            : (Mengutip salah satu surat Kartini yang tidak dipublikasikan namun diubah sebagiaan, suara narator diiringi dentingan gitar, berduka)

Sampai aku menarik napas yang penghabisan, akan tetap aku berterimakasih pada kalian dan mengucap syukur akan kasih kalian kepadaku. Seorang buta yang diperbuat melihat, sekali kali tiada menyesal, matanya dibukakan orang karena bukan barang yang indah indah saja yang menjadi terlihat olehku dan kalian.

SELESAI


Sidoarjo, 27 Juli 2006
Tuk yang mengabdi tanpa menyadari
Alm. RA Kartini
                                     




PS : dalam naskah drama ini terdapat beberapa kutipan asli maupun yang diubah untuk dialog dan narasi. Sumber sumber kutipan tersebut :
Buku Habis Gelap terbitlah Terang (Armijn Pnae)
Buku Kartini Sebuah Biografi (Siti Soemandari Soeroto)
Buku Ra Kartini (Tashadi)