host gator coupons Materi Drama: RT 0 RW0

Senin, 21 November 2011

RT 0 RW0


ADEGAN I


(KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN. PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU TOMPLOK.
DUA TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH LAGI).

Kakek         :  Rupa-rupanya, mau hujan lebat.
Pincang       :  (TERTAWA) Itu kereta-gandengan lewat, kek!
Kakek         :  Apa?
Pincang       :  Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
Kakek         :  (MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA, SAMBIL MENGADUK ISI KALENG MENTEGA DI ATAS TUNGKU) Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.
Ani              :  Lalu?
Kakek         :  Hendaknya, peraturan itu diturutlah.

(ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK).

Kakek         :  Kalau begitu apa guna larangan?
Ani              :  Untk dilanggar.
Kakek         :  Dan kalau sudah dilanggar?
Ani              :  Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara.

(KAKEK MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA, TERUS MENGADUK MASAKANNYA. SUARA GEMURUH LAGI).

Pincang       :  Kali ini, suara itu adalah suara guruh.
Ani              :  (TERSENTAK) Apa?!
Pincang       :  (TERTAWA) Itu neng, geluduk. Biasanya itu tanda, tak lama lagi hujan turun.

(ANI KESAL. IA PERGI KETEPI BAWAH JEMBATAN, MELIHAT KELANGIT. DIACUNG-ACUNGKAN TINJUNYA BERKALI-KALI KELANGIT. SUARA GELUDUK).

Ani              :  Sialan! Ina!
Ina              :  Apa, kak?
Ani              :  Percuma dandanan!
Ina              :  Ah, belum tentu juga hujan turun.

(SUARA GELUDUK LAGI).

Ani              :  (KESAL) Belum tentu, hah! Apa kau pawang hujan? Dengarkan baik-baik: Yang belum tentu adalah –kalau hujan benar-benar turun– kita bisa makan malam ini.
Pincang       :  Sekedar pengisi perut saja. Ini juga hampir masak.
Ani              :  (TOLAK PINGGAN DI HADAPAN PINCANG) Banyak-banyak terimakasih, bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, -- bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas…
(SELAMA ANI NGOCEH TENTANG MAKANAN ENAK ITU, YANG LAINNYA MENDENGARKAN DENGAN PENUH SAYU. BERKALI-KALI MEREKA MENELAN LIURNYA.
SUARA GELUDUK. SEMUANYA MELIHAT SAYU PADA ANI).

Ani              :  (HISTERIS) Oh, tidak. Tidak! Hujan tak boleh turun malam ini. Tidak boleh!
Ina              :  (MENDEKATINYA) Sudahlah, kak. Hujan atau tak hujan, kita tetap keluar.
Pincang       :  Mana bisa. Laki-laki mana mau sama kalian kuyup-kuyup?
Ina              :  Ah, abang seperti tahu segala. Lagi, kata siapa kami bakal basah kuyup?
Kakek         :  (DENGAN SUARA DATAR) Siapa jalan di hujan, basah. Biasanya begitulah.
Ina              :  Kalau kami – oh, naik becak?
Pincang       :  Ah, jadi kalian bakal operasi dengan becak? Uang untuk ongkos becaknya, gimana?

(INA TERTAWA TERBAHAK-BAHAK).

Pincang       :  Oh, pakai kebijaksanaan dengan bang becaknya, hah?

(INA TERUS TERTAWA. ANI IKUT MENCEMOOH).

Pincang       :  (GEMAS) Becak jahanam!
Ina              :  Lho, kok jahanam?
Pincang       :  Ahh, aku sudah tahu. Pasti bang becak yang hitam itu lagi, kan?!
Ina              :  (GELI) Hitam manis, dong. Oh, jadi kau kenal dia? (TERTAWA LAGI) Kau cemburu apa?

(PINCANG TIBA-TIBA MENYEPAK KUAT-KUAT SEBUAH KALENG KOSONG DI TANAH).

Ani              :  He, sabar dikit, bang! Apa-apaan nih?! Sejak bila si Ina ini hanya milikmu saja, hah?

(PINCANG DIAM, KEMUDIAN BERSUNGUT-SUNGUT).

Ani              :  Kira-kira dikit, ya. Kau ini sesungguhnya apa, siapa? Berani-berani cemburu. Cih, Laki-laki tak tahu diuntung!
Ina              :  Ah, sudahlah, kak.
Ani              :  Apa yang sudah? Aku ingin tanya kau, hei Ina: Sejak bila kau ini tunangan resminya, atau isteri-isterinya, atau gundik-gundiknya, hah?
Ina              :  Tak pernah.
Ani              :  Mentang-mentang semua main pordeo di sini.
Pincang       :  Pordeo? Akupun punya sahamku dalam kehidupan di sini.
Ani              :  Saham? Kau hingga kini kontan mencicipi hasil sahammu yang ½ busuk semua itu. Cih, labu siam, bawang prei, beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau malah semua busuk. Dan itu kau anggap senilai dengan tubuh panas wanita semalam suntuk, hah?! Kau anggap apa si Ina ini? Kau anggap apa kami wanita ini, hah?
Kakek         :  Sudahlah. Kalau kalian tak lekas berhenti cekcok, aku kuatir nama Raden Ajeng Kartini sebentar lagi bakal disebut-sebt nanti di sini.
Ani              :  (KESAL MELIHAT KAKEK) Ayo Ina, lekasan pakai baju. Kita lekas pergi.
Kakek         :  (NADA KELAKAR) Nasi putih sepiring…
Pincang       :  (IDEM) Sepotong daging rendang, bumbunya kental berminyak-minyak…
Kakek         :  Telor balado…
Pincang       :  Teh manis panas segelas penuh…
Kakek         :  Dan sebagai penutup: sebuah pisang raja…
Pincang       :  Warnanya kuning keemas-emasan…
Ani              :  (SELESAI MENGENAKAN BAJUNYA) Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan kami nikmati malam ini. Cara apapun akan kami jalani, asal kami dapat memakannya malam ini. Ya, malam ini juga!
Ina              :  (JUGA SUDAH SIAP) Mari, kak.

(SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT).

Ina              :  (MELIHAT KE ANI) Gimana, kak?
Ani              :  Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?!
Kakek         :  Selamat bertugas! Entah basah, entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari.
Ani              :  Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh.

(ANI DAN INA DENGAN SEPOTONG TIKAR ROBEK MENUTUPI KEPALANYA, PERGI. HUJAN SEMAKIN LEBAT JUGA).

ADEGAN II


(HUJAN MASIH TURUN. SESEKALI TAMPAK KILATAN. PINCANG DAN KAKEK SEDANG MAKAN, LANGSUNG DARI KALENG MENTEGA).

Kakek         :  Nasi putih panas…
Pincang       :  (MENJILATI JARI-JARINYA) Rendang, telor… eh, apalagi katanya tadi?
Kakek         :  (TERUS MENGOREK DARI KALENG MENTEGA DENGAN JARI-JARINYA) The manis panas, pisang raja…
Pincang       :  Warnanya kuning emas. Bah!

(PINCANG MEMBANTING KALENGNYA KETANAH)

Kakek         :  (MEMBURU KALENG YANG MENTAL ITU) Ah, sayang. Masih ada.

(KAKEK MENGOREKI KALENG ITU, MAKIN, DAN MENJILATI JARI-JARINYA).

Pincang       :  Aku heran, kakek kok masih hafal semuanya itu.
Kakek         :  (TERUS MENJILATI JARINYA) Hafal apa?
Pincang       :  Rendang, telor, pisang raja segala.
Kakek         :  (TERTAWA) Lho, kenapa mesti lupa?
Pincang       :  Setelah bertahun-tahun hidup begini!

(KAKEK SELESAI MENGOREKI ISI KALENG. RUPANYA ISINYA BETUL-BETUL HABIS. KALENG DITUNGKUPKANNYA DI ATAS TUNGKU).

Kakek         :  Ada puntung?
Pincang       :  (MENGGELENG) Yang terakhir, Kakek sendiri tadi yang menghisapnya.
Kakek         :  (TERTAWA) Oh, ya.

(KAKEK DUDUK DI SAMPING PINCANG DI BETON SEMEN SALAH SATU PILAR JEMBATAN).

Kakek         :  Kini, kau dengar baik-baik. Puntung rokokmu yang kuhisap tadi siang, itu bisa aku lupa. Tapi, bagaimana aku bisa melupakan nasi panas, daging rendang, telor, pisang raja? Tidak bisa, nak. Sama seperti tidak bisanya aku melupakan ranjang kanak-kanakku dulu; melupakan bubur merahputih yang sangat kusukai, bila ibuku menyuguhkannya padaku sehabis aku sakit parah; melupakan uap sanggul ibuku sehabis mandi, kemudian melenakan aku tidur dengan cerita-cerita wayang, tentang Gatotkaca yang perkasa, tentang Dewi Sinta, tentang…

(KAKEK MENGUAP BERKALI-KALI)

Pincang       :  (TERHARU) Tidurlah, kek. Kau mengantuk.
Kakek         :  (TERTAWA, SAMBIL MENEKAN KUAPNYA) Ah, tidak. Aku seolah kembali merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan. Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri, sebagai: harga diri. Kini, aku bertanya kepadamu, nak: Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini?
Pincang       :  Semua persoalan ini tak bakal ada, bila kita bekerja, punya cukup kesibukan. Semua kenangan, harga diri, yang Kakek sebutkan tadi, adalah justru masalah yang hanya ada bagi jenis manusia-manusia seperti kita ini: tubuh, yang kurang dapat kita manfaatkan sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-gerobak.
Kakek         :  kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja.
Pincang       :  Ya, tapi tak pernah dapat.
Kakek         :  Alasannya?
Pincang       :  Masyarakat punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini.
Kakek         :  Eh, bagaimana rupanya seperti jenis kita ini?
Pincang       :  masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya.
Kakek         :  Menurut mereka, kita cuma bisa apa saja lagi?
Pincang       :  Tidak banyak, kecuali barangkali sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak mati saja, dengan batok kotor kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah.
Kakek         :  Sekiranyalah mereka tahu apa-apa kemahiran.
Pincang       :  Jangan kecualikan aku, Kek. Kakek dan aku sama-sama termasuk mereka yang setiap saat siap mempertaruhkan apa saja, asal dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan ini.
Kakek         :  Tampaknya mereka sama sekali tak sudi memberi kesempatan itu.
Pincang       :  Tampang kita saja sudah cukup membuat mereka curiga. Habis, tampang bagaimana lagikah yang dapat kita perlihatkan kepada mereka, selain tampang kita yang ini-ini juga? Bahwa tampang kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang berdarah, salah kitakah ini? Bahwa dari tubuh dan pakaian kita menyusup uap yang pesing, uap dari air kali yang butek di kolong jembatan ini, salah kitakah ini?
Kakek         :  Hukum masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan.
Pincang       :  Kalau aku memiliki stelan gabardin, dengan sepatu dari kulit macan tutul, dengan dasi sutera, dan rambutku dibelur dengan minyak luar negeri, Kakekku yang terhormat: Apakah di kolong jembatan ini masih tempatku? Apakah masih manusia gelandangan namanya aku?
Kakek         :  Ya, dimana mesti mulai, dimana mesti berakhir, bagi orang-orang seperti kita ini?
Pincang       :  Dunia gelandangan adalah suatu lingkaran setan, Kek, yang tiap hari tampaknya kian keker, kian angker juga. Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan nasib baik saja.
Kakek         :  Menanti-nantikan datangnya kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari di kolong jembatan ini.
Pincang       :  Satu per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran.
Kakek         :  Itu masih mendingan. Itu namanya, bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa kita?

ADEGAN III


(HUJAN TELAH REDA. KEMBALI JELAS DERU-DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. MASUK BOPENG DAN ATI).

Bopeng        :  Belum tidur kalian?
Pincang       :  Hm, lambat juga kau pulang kali ini.
Kakek         :  Ada puntung?
Bopeng        :  (TERTAWA) Sabar. Rokok sungguhanpun ada. Malah sebungkus utuh. Juga aku bawa nasi rames empat bungkus.
Kakek         :  Na… nasi rames? Kau kan tak merampok hari ini?
Bopeng        :  (TERTAWA) Syukur, belum sejauh itu aku perlu merendahkan diriku, Kek.
Pincang       :  Kata orang, tak yang lebih rendah lagi dari gelandangan.
Bopeng        :  (BERNAFSU) Siapa yang memompakan kepintaran itu dalam kepala kakek?
Kakek         :  (TERTAWA) Sabar, sabar! Mana itu nasi ames? Katakan, empat bungkus.
Bopeng        :  Yu, buat kalian saja. Aku, eh, kami sudah makan tadi.

(BARULAH KAKEK DAN PINCANG SADAR AKAN KEHADIRAN ATI).

Kakek         :  Ooo! Kita kedatangan tamu nih.
Pincang       :  (BATUK-BATUK) Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu?
Bopeng        :  (MARAH) Hati-hati dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu.
Kakek         :  Sudah naik kapal, barangkali.
Bopeng        :  Mungkin juga.
Pincang       :  Apa dia kelasi?
Bopeng        :  (TERSINGGUNG) Bukan kelasi saja yang boleh naik kapal.
Kakek         :  Dugaanku begini: Dia suruh anak ini menunggunya di pintu pelabuhan. Lantas dia sendiri masuk pelabuhan, kemudian dia keluar lagi dari pintu lainnya, terus kabur entah kemana.
Bopeng        :  Terhadap dugaan Kakek itu, bisa saja kuhadapkan sekian dugaan lainnya.
Kakek         :  Dugaan orangtua biasanya lebih berdasar.
Bopeng        :  Firasat atau pengalaman nih, Kek?
Kakek         :  Dua-duanya. Aku sendiri dulu eh, kelasi.
Pincang       :  (TERTAWA) Ha, dimana-mana kawin, Kek ya? Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan jani-jani setinggi langit berbaku-bakul.
Bopeng        :  (SANGAT TERSINGGUNG) Diam kau!!!
Ati              :  Ya, dia berjanji mau bawa saya kekampungnya di seberang. Katanya, ayahnya raja kopra di sana. Dia mau beri saya…
Kakek         :  Sudahlah, nak. Aku sudah mengerti. Mari kita lihat kini persoalan anak. Anak kini sudah di sini, dan kalau saya tak salah, anak tak ingin pulang kekampung dulu?
Ati              :  Malu, Kek. Kami berangkat dari sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan segala pakaian dan perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur.
Pincang       :  Ck, ck, ck. Hebat benar orang seberang itu! Eh, tapi apa benar dia dari sana?
Ati              :  Kata dia begitu.

(BOPENG HABIS SABARNYA. DITERKAMNYA PINCANG, DICEKIKNYA. KAKEK MELEPASKANNYA DENGAN SANGAT SUSAH PAYAH. ATI MENJERIT KETAKUTAN).

Kakek         :  (NAFASNYA SATU-SATU) Apa-apaan nih? Haus darah apa?
Bopeng        :  Dari tadi, dia cari fasal saja.
Pincang       :  O, apa aku harus menutup mulutku terus? Mengapa setiap ucapanku kauanggap sebagai cari fasal saja?
Kakek         :  Sudah, sudah. Mana nasi rames itu?

(ATI MENYERAHKAN BUNGKUSAN).

Bopeng        :  Mana yang dua orang lagi?
Pincang       :  Biasa, dinas.
Bopeng        :  Dinas? Dalam hujan selebat tadi?
Pincang       :  Hidung belang ada di setiap musim.

(BOPENG TERDIAM. TAMPAK IA LETIH BENAR. DIA DUDUK DI BETON DEKAT PILAR JEMBATAN. ATI TAMPAK RAGU-RAGU, TAPI KEMUDIAN DIAPUN DUDUK, DEKAT BOPENG. PINCANG DAN KAKEK DENGAN LAHAPNYA MAKAN DARI BUNGKUSAN NASI RAMES).

Kakek         :  (SANGAT BERNAFSU) Ha, ada telor.
Pincang       :  (IDEM) Dan daging rendang! Rupa-rupanya pukulanmu hari ini besar juga.
Bopeng        :  (LESU) Tak ada pukulan apa-apa, selain bahwa aku telah dapat persekotku.
Kakek         :  (BERSAMA PINCANG, KAGET) Persekot?!
Bopeng        :  (ACUH TAK ACUH) Ya, persekot.
Kakek         :  (MENDEKATI BOPENG) Jadi, akhirnya kau diterima juga?
Bopeng        :  Ya.
Kakek         :  Berarti, kau segera akan meninggalkan kami?

(BOPENG TUNDUK, TAK MENJAWAB)

Ati              :  Apa sih artinya ini semua? Diterima gimana, dan siapa yang akan pergi?
Pincang       :  Ah, jadi kau sendiripun belum diceritakannya apa-apa?
Ati              :  Aku tak diberitahu apa-apa.

(ATI MELIHAT KESAL KEARAH BOPENG)

Kakek         :  (MENUNJUK BOPENG) Dia ini tadi diterima sebagai kelasi kapal. Sudah lama dia melamar, tapi baru hari ini rupanya berhasil. Dan tadi, dia menerima persekot. Artinya, sebagian pembayaran dimuka. Itu lazim di kapal. Dan (MENELAN LUDAHNYA) dari uang persekotnya itu, dibelikannya kami rames-rames ini. (HAMPIR MENANGIS) Jelaskah sudah soalnya bagi kau?

(KAKEK BERDIRI TERHUYUNG-HUYUNG. NASI RAMESNYA TAK DAPAT DIMAKANNYA TERUS. KERONGKONGANNYA SERASA TERSUMBAT. DIBUNGKUSNYA KEMBALI NASI ITU, LALU PERGI MENJAUH KESEBELAH YANG LEBIH GELAPAN DARI KOLONG JEMBATAN).

Bopeng        :  Ini rokoknya, Kek.

(KAKEK HANYA MENGGELENG SAJA).

Ati              :  Bawalah aku, Kak!
Bopeng        :  Kemana?
Ati              :  Terserah Kakak. Pokoknya, jadi juga aku berlayar.
Bopeng        :  Pekerjaan kelasi kapal tidak mungkin berteman wanita. Jangankan kemana-mana, naik kekapal saja kau tidak boleh.
Ati              :  Sembunyikan aku dalam bilikmu.
Bopeng        :  (MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA) Orang yang dalam hidupnya telah sekian lama menjadi manusia gelandangan seperti aku ini, taklah semudah itu menginginkan kembalinya ia kedunia gelandangannya itu apabila ia sekali telah sempat berhasil meninggalkannya. Kau tak tahu, apa artinya gelandangan.
Ati              :  (MENANGIS) Aku tahu. Dan aku memang tak mau tahu. Aku hanya tahu, aku masih muda, dan bahwa akupun berhak juga akan sedikit cinta… dan sejemput bahagia.

(ATI TERISAK-ISAK. MENANGIS.
HENING. SESEKALI KEDENGARAN DERU LALU LINTAS LEWAT DI ATAS JEMBATAN).

Pincang       :  Sedikit cinta, sejemput bahagia… kesempatan untuk mengejar itu semua, setidaknya tidaklah di kolong jembatan ini, Dik.
Ati              :  (BERNAFSU) Kata siapa aku datang untuk itu kemari?
Pincang       :  (MENGERTI) Ah, jadi kalau sekiranya aku disuruh menyimpulkannya kini, maka Adik kemari ini hanyalah sekedar untuk menumpang bermalam untuk satu malam ini saja? Lalu, bagaimana besok?
Bopeng        :  Kuperingatkan kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung.

(PINCANG TEGAK DENGAN SIKAP MENGANCAM DI HADAPAN BOPENG).

Pincang       :  Kalau maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (BERTERIAK) Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan terhadapnya.

(BOPENG TERPESONA, DAN KAGUM, ATAS LAKU YANG TAK DIDUGANYA DARI PINCANG INI. IA TERDIAM, DAN TERUS SAJA DUDUK DI TEMPATNYA).

Pincang       :  (PADA ATI) Barangkali ada baiknya, bila akulah yang menceritakannya kepada Adik. Dia telah terima uang persekotnya tadi. Berarti, dia segera bakal berlayar, mungkin sudah besok. Bukankah begitu? (IA BERPALING PADA BOPENG. BOPENG MENGANGGUK) Nah, besok! Besok kita akan pamitan dari dia, mungkin untuk selama-lamanya tak bertemu lagi. Sehabis pamitan, dia menuju kelaut lepas, kami ini kembali kemari lagi, dan sisahlah lagi pertanyaan yang sangat penting artinya bagi Adik, bagi kita semuanya: Bagaimana dengan Adik sendiri?

(HENING. HANYA KEDENGARAN ATI TERSISAK-ISAK).

Ati              :  Aku mau ikut berlayar.
Pincang       :  Tidak mungkin, sudah Adik dengar sendiri tadi dari dia.

(ATI TERSEDU-SEDU).

Pincang       :  Apakah Adik tak bisa berbuat apa-apa sedikit dengan rasa harga diri Adik yang luber itu, dan tidak begitu keberatan terhadap usul saya, agar sebaiknya Adik pulang saja kesaudara Adik di kampung?
Ati              :  (MENGHAPUS AIRMATANYA) Kalaulah aku boleh bertanya: Abang sendiri, ya kalian semuanya yang di sini, mengapa kalian tak pulang saja kekampung kalian?

(PINCANG TERDIAM. LAMA IA BERTUKAR PANDANGAN DENGAN BOPENG).

Bopeng        :  (MERENUNG) Yah, mengapa kita sendiri tak pulang saja kekampung kita masing-masing?

ADEGAN IV


(TERDENGAR BUNYI LONCENG BECAK. MASUK INA, SENDIRIAN, MENENTENG BUNGKUSAN. IA TAMPAKNYA GIRANG).

Pincang       :  Hai, Ina.
Bopeng        :  Mana Ani?
Ina              :  Kak Ani takkan datang kemari lagi. Dia telah bernasib baik. Babah gemuk yang selamanya ini jadi langganannya, tadi di Seksi Polisi berkata, bakal mengawini Kak Ani. Dan Kak Ani setuju.
Bopeang      :  Lho, kenapa di Seksi Polisi?

(INA MENYERAHKAN BUNGKUSANNYA KEPADA KAKEK YANG MUNCUL DARI TEMPATNYA YANG GELAP. INA KINI MELIHAT ATI).

Ina              :  Ah, ada penghuni baru? Seperti tahu saja, Kak Ani tak pulang lagi kemari. (PADA BOPENG) Punya Abang?
Pincang       :  Dia tamu semalam kita di sini. Besok dia kembali kekampungnya.
Ina              :  Sowan nih? Pada siapa? (MELIHAT TERUS PADA BOPENG)
Kakek         :  (MEMERIKSA BUNGKUSANNYA) Nasi rames lagi! Dan daging rendang. Ya Allah, juga telor! Dan ini, pisang raja sesisir! Ada-ada saja si Ani!
Ina              :  Kak Ani cuma mau penuhi janjinya saja pada kalian.
(KAKEK MENGAMBIL BUNGKUSAN NASI RAMESNYA YANG TAK HABIS TADI DARI POJOK).

Kakek         :  Nih, tadi juga sudah nasi rames. Juga rendang, telor…
Ina              :  (HERAN) Dari siapa?
Pincang       :  (MENUNJUK PADA BOPENG) Dia kawul tadi. Besok dia berlayar.
Ina              :  (TERKEJUT) Berlayar? Jadi, Abang telah diterima?

(BOPENG MENGANGGUK. INA MEMELUKNYA GIRANG).

Ina              :  Aku sangat gembira, Bang. Untuk Abang, untuk kita semuanya. Besok benar-benar Abang berlayar?
Bopeng        :  Kalau tak ada halangan apa-apa lagi. Sebelum tengah hari besok, aku sudah harus di kapal. Sore-sore, berlayar.
Ina              :  (MASIH GIRANG) Kemana, Bang?
Kakek         :  Adakah pertanyaan itu masih penting lagi sekarang? Pokoknya, berlayar! Pergi, jauh-jauh dari sini. Tiap tempat lainnya, pastilah lebih baik dari kolong jembatan kita ini.
Bopeng        :  Coba teruskan dulu ceritamu tentang Ani tadi.
Ina              :  Oh, ya. Tapi, mengapa tak ada kalian yang tampaknya mau memakan oleh-oleh dari Kak Ani ini?
Kakek         :  (TERTAWA) Entah apa rencananya Dewa-Dewa dengan mengirimkan dua kali dalam semalam ini makanan dari jenis yang sekian tahun belakangan ini memimpikannyapun kita, sebagai orang gelandangan, tak berani. Tiba-tiba, malam ini, bintang-bintang di langit, dan rupanya juga roh nenek moyang kita, ingin berseloro dengan kita. Dan sekedar untuk melengkapkan unsur bergurau itu pada pengalaman aneh kita malam ini, selera kita sedikitpun tidak terangsang! Sebab, berkah besar ini secara kontan harus kita bayar dengan berita akan berlayarnya dia (MELIHAT PADA BOPENG) besok sudah, dan dengan berita lainnya tentang Ani yang tak bakal kemari-kemari lagi. Perasaanku pribadi, entah bagaimana kalian, adalah persis seperti aku beroleh makanan enak-enak dulu sebelum aku digiring ke tiang gantungan.
Bopeng        :  (TERTAWA) Ah, Kakek ada-ada saja. Apa ya separah itu?
Kakek         :  Kelengangan disebabkan perpisahan, terkadang lebih parah dari kematian sendiri. Mengapa pula kita, manusia-manusia gelandangan, berbuat seolah tak mengerti hal itu?

(LENGANG. HANYA SUARA HALILINTAR DI ATAS JEMBATAN SESEKALI KEDENGARAN)

Ina              :  (DUDUK) Sekeluar kami berdua tadi dari sini, kebetul;an bang becak, kenalan kami selama ini, lewat.
Pincang       :  (MENYERINGAI) Hmm, kebetulan. Sudah tentu dia sudah sejak lama menantikan kalian.
Bopeng        :  (PADA PINCANG) He, mengapa kamu ngos-ngosan begitu?
Pincang       :  Apa kau tak tahu, bahwa mereka dengan bang becak itu selama ini membentuk suatu usaha, namanya “Becak Komplit”?
Kakek         :  Seingatku, di restoran yang besaran dikit, kita bisa pesan apa yang disebut “Biefstuk Komplit”.
Bopeng        :  Baru-baru ini ada ditulis di koran tentang “Patriot Komplit”.
Kakek         :  (GELI) Semuanya makin serba komplit, tapi rasanya kok seperti makin serba kurang saja!
Bopeng        :  Becak komplit itu apa?
Pincang       :  Becak, komplit dengan wanitanya, untuk plesir. Malah, bang becaknya telah komplit mengatur dimana tempat plesirnya, sewanya, ongkos angkutannya, dst, dst. Pokoknya, selesai semuanya, sang tamu membayar biaya komplit.
Kakek         :  Seingatku – dari masaku dulu sebagai kelasi – pembayaran serupa itu namanya “all in”. Semuanya sudah termasuk: ya ongkos hotelnya, ya ongkos makan-makan dan mabuk-mabuknya, ya ongkos plesirnya dengan wanitanya, ya ongkos taksi besok paginya yang harus mengantarkan kita pulang kekapal di pelabuhan – tidak terlambat!
Bopeng        :  Siapa yang menerima semua pembayaran itu?
Pincang       :  Kan sudah dikatakan tadi, bang becaknya. Saham dia yang terbesar. Oleh sebab itu, dia yang menentukan berapa yang boleh diterima siwanita.
Bopeng        :  Adil nggak dia?
Pincang       :  Bergantung bagaimana bang becaknya. Tapi, jangan lupa, kadang-kadang dagangannya tak laku. Walaupun dia sudah putar-putar kayu beberapa kali. Dalam hal yang demikian, bang becak sering beri pinjaman pada siwanita. Kalau dia sendiri tak punya, nah melarat.
Bopeng        :  Itu lumrah.
Pincang       :  Tapi, ada kukenal bang becak yang jadi kaya raya dengan usaha seperti itu. Dia punya hubungan sekaligus dengan sepuluh sampai duapuluh wanita. Dan dia punya hubungan rapat dengan pelayan-pelayan hotel. Dia jadi semacam loveransir plosiran. Dia sudah punya mobil, dirikan rumah gedung di kampungnya, malah baru-baru ini mendirikan lagi sebuah yang mentereng di kota ini. Kabarnya, bulan depan dia bakal naik haji.
Ati              :  Wah, dari uang lendir.
Pincang       :  Dari uang lendir atau bukan, pokoknya dia bisa naik haji. Pulang dia nanti dari sana, dia berhak pakai sorban – kalau dia mau. Nah, haji sungguhankah dia, atau tidak?
Ati              :  Jijik, ah.
Pincang       :  Jijik atau tidak jijik, najis atau tidak najis, ya lendir atau tidak lendir, dia adalah Haji Anu, titik.
Ati              :  Apa tidak ada peraturan yang bisa melarang orang seperti itu pergi ketanah suci?
Bopeng        :  Kukira, tidak pantas melarang orang yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau lendir, itu semata-mata urusan lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan dengan panitia haji. Kukira, Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk soal lendirnya, dia terang berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat kebaikan dan pahal. Mana yang lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu. Jelas itu tak dikatakan-Nya pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita mesti ikut-ikutan mengadili bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita ini? Kalau kita bertemu dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak Haji? Dan apakah rokok yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya oleh karena hati kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari uang lendirnya? Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan kunikmati. Dan bila tidak, rokok itu dilemparkan kejalan. Titik. Demikianlah aku memandang persoalannya.
Kakek         :  Persis pandangan seorang jagal sapi: ini daging ya masuk; ini lemak dan tetelan, ya masih bisa masuk; tapi ini apa? Daging bukan, lemak bukan, tetelan bukan? Yah, lempar masuk tong sampah. Tidak ada tempat buat usus, babat…
Bopeng        :  Ah, kita ini sudah lewat ngelantur. Ina, bagaimana ceritamu tadi tentang Ani seterusnya?
Kakek         :  Hmm, apa masih ada lanjutannya? Kukira…
Ina              :  Kak Ani tadi rupanya sudah ditunggu langganannya, itu babah gemuk yang punya pabrik mi.
Bopeng        :  Langganan?
Ina              :  Ya, sudah hampir tiga bulan mereka berkenalan dan terus langganan. Babah itu demen betul sama Kak Ani. Katanya, Kak Ani persis betul menyerupai isterinya almarhumah.
Bopeng        :  Inna Lillaah!
Ina              :  babh itu sudah lama minta Kak Ani supaya mau kerja padanya.
Bopeng        :  Lho, kok kerja?
Ina              :  ya, kerja. Katanya, sekedar mengurus dia dengan anak-anaknya saja.
Bopeng        :  Berapa anaknya?
Ina              :  Kalau tak salah, enambelas.
Bopeng        :  Enambelas? Ampun, mati si Ani!
Ina              :  Dan disamping itu, yah kerja rumah tangga biasa lainnya.
Kakek         :  (MENJERIT) Babu Komplit!

(PINCANG DAN BOPENG MELEDAK TERTAWA. INA MELIHAT KESAL PADA MEREKA).

Kakek         :  Dan itu namanya: sekedar. Wah, pintar juga si babah.
Pincang       :  Babah-babah biasanya memang pintar-pintar.
Kakek         :  Di koran, ini mah namanya: Eksi… eksle… apa sih namanya? Pokoknya, di belakang nyusul kata-kata: delomparlom.
Bopeng        :  (TERTAWA) Gitulah, kalau hanya membaca sobekan-sobekan koran saja. Itupun, yang kebetulan diterbangkan angin saja kepinggir jalan-jalan, dan sambil lalu kita pungut dan baca. Kek, apa kira-kira arti kata-kata yang Kakek ucapkan tadi?
Kakek         :  Kalau tak salah: Manusia dihisap manusia.
Pincang       :  Jempol!
Kakek         :  Eh, jangan anggap enteng seorang bekas kelasi, ya.
Pincang       :  (GELI) calon kelasi gimana?
Kakek         :  (MELIRIK PADA BOPENG) Dia adalah makhluk paling bahagia.
Bopeng        :  Teruskan ceritamu, Ina.

(KAKEK MEMBUNGKUK ARAH INA, GELI).

Ina              :  Singkatnya: Ketika mereka sedang eh…
Pincang       :  (NYELETUK) … pelesir…
Ina              :  Ya, eh… di tempat mereka yang biasa, tiba-tiba ada razzia!
Pincang, Bopeng, Kakek            : (SEREMPAK) Razzia?!!
Ina              :  Ya, razia oleh polisi. Kami yang sedang menanti di luar, sempat lari. Kak Ani dan si babah tertangkap basah. Mereka kami lihat digiring ketruk terbuka, bersama sekian banyaknya lagi, laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan yang sudah-sudah, kami menduga mereka tentulah dibawa ke Seksi Polisi. Lalu kami kesana.
Bopeng        :  Maksud kalian?
Ina              :  Bang becak mau menerangkan pada polisi, dia adalah suami dari Kak Ani.
Bopeng        :  Hah? Sejak bila?
Ina              :  Hanya dengan jaminan dari seorang suami saja, wanita yang kena dirazia begitu bersedia polisi melepaskannya.
Bopeng        :  Ya, tapi sejak bila bang becak itu suami si Ani?
Ina              :  Bang becak komplit punya surat-surat kawinnya.
Pincang       :  Itu termasuk servis dalam perseroan mereka “Becak Komplit” itu.
Bopeng        :  Aha, suami sekedar buat keadaan darurat saja!
Kakek         :  (MENJERIT) Suami razia!!
Ina              :  (TAK MENGHIRAUKAN CEMOOHAN KAKEK) Tapi, kali ini bang becak itu tidak perlu lagi menawarkan jasa-jasa baiknya. Di depan polisi, si babah meminang Kak Ani, dan di depan polisi, Kak Ani berkata iya.

(BOPENG + PINCANG + KAKEK SERENTAK TERCENGANG).

Ina              :  Dan aku sangat gembira atas putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan sekalipun, entah memang dia licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam pertimbangannya, tapi setidaknya mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan tetap, punya alamat tetap, ya… (MENANGIS) punya kartu penduduk tetap!

(HENING. SEMUANYA TERKESAN DAN TERHARU).      

Ina              :  (MENYEKA AIR MATANYA) Dan aku sendiripun sekarang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun… (TERISAK) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri. Aku telah terima lamaran bang becak itu.
Pincang       :  (KAGET) Bang becak itu?
Ina              :  (MENYEKA AIR MATANYA) Aku tahu, Abang (MELIHAT PADA PINCANG) sudah lama tidak menyukai bang becak itu. Tapi Bang, sekiranyalah aku menyerahkan diriku dan nasibku seterusnya padamu, apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong jembatan ini?
Pincang       :  Kata siapa, aku terus-terusan akan begini, dan di sini ini?
Ina              :  Abang selama ini telah banyak bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita dan bahagia. Tapi, aku sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh ingin menebus kata-kata itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku memang selalu mengagumi ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan kata-kata, dengan mana Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain. Bermalam-malam aku, tergolek di samping Abang (SUARA BATUK-BATUK KAKEK), melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.
                      Tapi, dengan hati yang pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua ucapan Abang itu bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri Abang semacam kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang gamang berbuat sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan asing sekali di bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula masih ada harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan diri Abang sebagai seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat, betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit…
                      Dan bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar, apa dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang sudah teruk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi, itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! (MENANGIS) Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka keneraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian kita dengan sendirinya berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar lagi di tempat-tempat seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku mengharapkan tidurku bisa nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun, basah kuyup oleh keringat dingin.

(KEDENGARAN LONCENG BECAK BERKALI-KALI. MUKA INA SEKETIKA BERUBAH. IA BERDIRI, DAN MELEPASKAN PANDANGANNYA PELAN-PELAN KESELURUH PELOSOK DARI KOLONG JEMBATAN).

Ina              :  Barang-barangku kutinggalkan semuanya di sini. Pakai, bila berguna bagi kalian. Buang, bila tidak. (LONCENG BECAK LAGI. DIA TERSEDU-SEDU. DIPELUKNYA BOPENG) Selamat tinggal, dan selamat belajar, Bang. Semoga… (IA TAK DAPAT MENERUSKAN) Maafkan, bila ada kata-kataku dan perbuatan-perbuatanku selama ini yang salah, Bang.
Bopeng        :  (SANGAT TERHARU, DENGAN SUARA SERAK) Akupun demikian terhadapmu, Ina.
Ina              :  (PADA KAKEK) Kek! Ah, semoga kita tidak pernah bertemu lagi.
Kakek         :  (TERTAWA) Begitu bencinya kau padaku, Ina?

(INA MENGGELENG. DIDEKAPNYA KAKEK, MENANGIS TERSEDU-SEDU).

Kakek         :  (SERAK) Aku berharap, suatu hari dapat melihat kau lewat, naik becak suamimu, kau dan anak-anakmu sehat dan montok-montok. Selamat jalan, Nak.
Ina              :  (TERTEGUN DI HADAPAN PINCANG) Dan kau, Bang. Selamat tinggal. Aku harap, kau dapat memahami dan memaafkanku.

(PINCANG MENGANGGUK-ANGGUK KECIL. IA TAK DAPAT BERKATA APA-APA).
(KEMBALI BUNYI LONCEN BECAK. TAK SABAR).

Kakek         :  (TERTAWA) Wah, laki-laki tak sabaran juga rupanya. (PADA INA) Lekaslah, Nak. Nanti suamimu kabur!

(INA TERTAWA. KEMUDIAN IA MELIHAT ATI, DAN DIHAMPIRINYA).

Ina              :  Dan akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. Kalaulah boleh aku memberi hanya satu nasehat saja padamu: Pandanglah kami satu persatu yang di sini ini. Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan ini. Dik, besok pagi, pulanglah lempang-lempang kekampungmu. (DIBUKANYA SAPU TANGANNYA) Nih, ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu dan bekal di jalan, cukup jugalah. (ATI MENERIMANYA) Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat kau menghirup iklim gelandangan ini. Sekali kau menghirupnya, kau tak dapat lagi melepaskan dirimu dari lilitan-lilitan guritanya.
Bopeng        :  (TERSADAR) Ya, dan agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu, maka pada si Pincang kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang pergi, biarlah aku yang tanggung. (MENGAMBIL UANG DARI SAKUNYA, DIBERINYA PADA SI PINCANG) Nih, sisa persekotku tadi. (TERTAWA) Biarlah, aku toh tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang.

(LONCENG BECAK LAGI. BERKALI-KALI AGAK KERAS).

Ina              :  (MELIHAT KEARAH DATANGNYA BUNYI LONCENG BECAK) Selamat tinggal, Erte-Nol/Erwe-Nol ku… (MATANYA BERLINANG-LINANG)

(INA LARI MENINGGALKAN KOLONG JEMBATAN, SAMBIL MENGHAPUS-HAPUS AIR MATANYA. TAK BERAPA LAMA KEMUDIAN, KEDENGARAN LONCENG DARI BECAK YANG BERANGKAT).

ADEGAN V


(KEDENGARAN SESEKALI DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. BUNYI-BUNYI MALAM DARI JANGKRIK, KODOK, DLL, DI BAWAH JEMBATAN).

Ati              :  (SETELAH LAMA HENING) Mengapa Abang ini harus pulang pergi mengantarkan aku?
Kakek         :  (CURIGA) Apa maksudmu?
Ati              :  Eh, apa salahnya dia tinggal sambil istirahat sebentar di kampungku. Siapa tahu, di sana ada kerja yang cocok untuknya.
Kakek         :  (SETELAH MENYENGGOL PINCANG KERAS-KERAS DENGAN SIKUNYA DI SAMPING) Akur! Aku setuju banget, dia tinggal dulu sekedar istirahat di sana, asal saja orang tuamu setuju di sana, sudah tentu.
Ati              :  Kukira orang tuaku setuju di sana.
Kakek         :  (GIRANG) Hore! Dengan kaki pincangnya, setidaknya dia masih bisa kerja…
Ati              :  Di sawah.
Bopeng        :  (GIRANG) Horee! Dan eh, siapa tahu, setelah orang tuamu melihat bakat-bakat petaninya, siapa tahu dia barangkali juga punya harapan untuk diangkat sebagai… eh, sebagai menantu!
Ati              :  (MERAH MUKANYA) Siapa tahu.
Pincang       :  (KAGET) Apa? Menantu?
Kakek         :  (GELI) Apa ya kau tak punya tenaga apa-apa lagi untuk menjadi seorang menantu, hah?
Pincang       :  Menantu siapa?
Kakek         :  Alaa, masih ingat kau kata-kata Ina tadi untuk kau? Nah, kukira sudah tiba saatnya bagimu kini, terlebih pada usiamu yang begini, untuk mencamkannya baik-baik. Jangan bingungkan dirimu lebih lama lagi dalam kerangka-kerangka kata-katamu yang mengawang itu. Mulai sekarang, rebut! Dan reguklah! Kesempatan segera ia nongol di hadapanmu. Berbuatlah! Bertindaklah! Bukankah begitu kata Ina tadi? Jadi, besok pagi, subuh, kau bersama dia ini kestasiun kereta api. Antar dia baik-baik sampai di rumah orang tuanya. Selebihnya, mainkanlah perananmu sebaik-baiknya, seperti yang telah kita goreskan tadi. Kalau kau belum apa-apa bakal ditendang oleh bakal mertuamu dari sana, maka benar-benar patokkanlah sejak itu dalam kepalamu: Nasibmu, kawan, untuk selama-lamanya bakal runyam! Dan ini adalah sebagian besar karena salahmu sendiri. Malaikat-malaikatpun kukira takkan dapat lagi menolongmu.

(PINCANG NAMPAK BINGUNG OLEH KATA KAKEK TADI. TAMPAKNYA IA INGIN MERONTA, TAPI LAMBAT LAUN KATA-KATA KAKEK ITU MERESAP JUGA KEDALAM SANUBARINYA).
Kakek         :  (SETELAH LAMA HENING) Kukira, malam ini kita semuanya terlalu penuh dengan perasaan kita masing-masing, sehingga pastilah kita tidak mungkin akan dapat tidur. Tapi, baik jugalah bila kita namun bisa istirahat. Malam telah larut juga, sedang matahari besok pagi sudah mengantar beberapa dari kita ketempat yang jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar. Mari kita mengumpul tenaga, agar langkah-langkah yang bakal kita ambil besok tidak terhuyung-huyung, tapi tegap-tegap dan tepat pada tempatnya. (MENGUAP PANJANG) Selamat beristirahat! (MENJENTIK BOPENG DI LENGANNYA) Sstt, biarkan mereka. Kita kesana saja… (MENUNJUK DENGAN WAJAHNYA KEPOJOK KOLONG JEMBATAN SEBELAH SANA)
Bopeng        :  (MENGERTI TERTAWA) Oh, ya. Eh, mengapa aku begitu bodoh.

(ATI MALU-MALU TERSIPU. MALU-MALU KUCING. TIBA-TIBA PINCANG TEGAK LURUS, SIKAPNYA SEPERTI MAU BERONTAK).

Pincang       :  Tunggu dulu! Kalian mau kemana, hah! Apa maksud-maksud gelap kalian?
Bopeng        :  (TERTAWA) Ah, cuma maksud baik saja.
Pincang       :  (BERTERIAK) Tidak! Aku tidak mau!
Kakek         :  Tidak mau apa?
Pincang       :  Maksudku, aku tidak mau mulai dengan cara yang kalian anjurkan tadi secara diam-diam itu. Bila benarlah nasibku akan menempuh jalan seperti yang kalian reka-reka tadi, entah kalian sungguh-sungguh tadi entah cuma ingin memperolok-olok aku saja untuk kesekian kalinya…
Bopeng        :  Ya Allah! Siapa yang berolok-olok?
Pincang       :  (SUARANYA MENINGGI) Baik! Bila benarlah kalian mengkhendaki aku memulai hidup baru, seperti anjuran kalian tadi, demi Tuhan! Mengapa kalian tak memperbolehkan aku memulainya dengan baik?
Kakek         :  Siapa mau menyuruh kau mulai dengan tidak baik?
Pincang       :  BERNAFSU) Kalian! Barusan! Dengan anjuran kalian yang tidak senonoh tadi!
Bopeng        :  Tidak senonoh?
Pincang       :  Ah, pura-pura lagi. Apa maksud kalian berdua tadi dengan pindah kepojok sana, dan membiarkan kami berdua di sini?

(BOPENG DAN KAKEK MELONGO SEBENTAR, KEMUDIAN MELEDAKLAH TAWA MEREKA).

Bopeng        :  Maaf, maafkanlah kami. Syukur, kalau kau memang benar-benar mau mulai baik sekarang.
Pincang       :  Ya, aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih. Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja.  Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. (SUARANYA TURUN, NAFASNYA SATU-SATU) Sudah tentu, sudah tentu… kalian berhak menolak lamaranku…

(HENING. SEMUANYA TERKESAN OLEH KATA-KATA PINCANG. KAKEK DAN BOPENG LAMA TERHARU MELIHAT PADANYA. KEMUDIAN, TERHUYUNG-HUYUNG, KAKEK MENDEKAT PADA SIPINCANG, KEMUDIAN DIPELUKNYA. AKHIR SEKALI, ATI MERABA-RABA TANGANNYA. PUN IA TERSEDU, TAPI SEDU SEDANNYA ADALAH CAMPURAN YANG KHAS DARI KEHARUAN DAN BENIH-BENIH PERTAMA DARI TUMBUHNYA SUATU RASA KEKAGUMAN DAN CINTA KASIH YANG MURNI… JARI-JARI PINCANG DIGENGGAMNYA, DAN PELAN-PELAN DICIUMNYA).
(SETELAH ADEGAN HARU DAN KASIH INI LEWAT, KAKEK TAMPAK KEMBALI KETEMPAT NYA SEMULA. IA KELIHATAN NGANTUK SEKALI).
Kakek         :  (MENGUAP PANJANG) Ah, benar-benar ngantuk aku nih. (KEPADA ATI) Begini saja, Nak. Aku golek-golekan di sini, kau boleh duduk dekatku, eh… menjagai aku.

(ATI DATANG DUDUK DEKAT KAKEK YANG SUDAH MEREBAHKAN DIRINYA).

Kakek         :  (PADA BOPENG DAN PINCANG) Dan kalian tak salahnya, jaga istirahat. Tidurlah, kalau memang betul bisa tidur. Ingat, acara kalian besok sungguh banyak… (MENGUAP PANJANG LAGI)

(BOPENG DAN PINCANG TAMPAK PERGI KEPOJOK SEBELAH SANA DARI KOLONG JEMBATAN, DAN MEREBAHKAN DIRINYA DI SANA. HANYA ATI SAJA YANG MASIH DUDUK, DEKAT KAKEK.
SUARA-SUARA MALAM DI KOLONG JEMBATAN, SEPERTI JANGKRIK-JANGKRIK, KODOK-KODOK BERSAHUTAN. KEDENGARAN AIR SUNGAI DI BAWAH JEMBATAN ITU MENGALIR. DI ATAS JEMBATAN SESEKALI LALU LINTAS TERDENGAR MENDERA).

Ati              :  kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek.
Kakek         :  (TETAP REBAH, SUARANYA MENGANTUK) Aku? Mau kemana aku?
Ati              :  Ikutlah kami besok kekampungku, Kek.
Kakek         :  Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi?

(BOPENG DAN PINCANG TERDUDUK MENDENGARKAN KATA-KATA KAKEK INI. MEREKA TAMPAKNYA SANGAT TERKESAN).

Ati              :  Justru oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya.
Kakek         :  Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku. (KEMBALI MENGUAP) Pada diriku,  semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat malam…

(TAMPAKNYA ATI MASIH MAU MENJAWAB SESUATU. TAPI BOPENG MENARUH TELUNJUKNYA PADA BIBIRNYA, ISYARAT AGAR ATI SEBAIKNYA DIAM SAJA SETERUSNYA. ATI MELIHAT SAYU PADA KAKEK YANG SUDAH TERTIDUR, DENGAN NAFAS BERATURAN. IA MENANGIS. KEMUDIAN DISELIMUTKANNYA SELENDANG KECILNYA PADA KAKEK. RAMBUT PUTIH KAKEK DIBELAINYA, SAMBIL MENYEKA AIR MATANYA. DILIHATNYA BOPENG DAN PINCANG TELAH KEMBALI MEREBAHKAN DIRINYA, TIDUR. PINCANG MALAH MENDENGKUR. ATI TERTAWA GELI.
TAK LAMA KEMUDIAN, ATIPUN MEREBAHKAN DIRINYA DI SAMPING KAKEK.
TERDENGAR DERU SEBUAH MOBIL LEWAT DI ATAS JEMBATAN. KEMUDIAN LONCENG BECAK. ATI MEMBALIKKAN TUBUHNYA. DI JAUHAN, SEEKOR ANJING MENYALAK PANJANG. ATI MENARIK NAFAS PANJANG).

LAYAR TURUN PELAN-PELAN


Bandung, April 2002
Ocky Sandra_97@org.net.id

ADEGAN I


(KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN. PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU TOMPLOK.
DUA TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH LAGI).

Kakek         :  Rupa-rupanya, mau hujan lebat.
Pincang       :  (TERTAWA) Itu kereta-gandengan lewat, kek!
Kakek         :  Apa?
Pincang       :  Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
Kakek         :  (MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA, SAMBIL MENGADUK ISI KALENG MENTEGA DI ATAS TUNGKU) Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.
Ani              :  Lalu?
Kakek         :  Hendaknya, peraturan itu diturutlah.

(ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK).

Kakek         :  Kalau begitu apa guna larangan?
Ani              :  Untk dilanggar.
Kakek         :  Dan kalau sudah dilanggar?
Ani              :  Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara.

(KAKEK MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA, TERUS MENGADUK MASAKANNYA. SUARA GEMURUH LAGI).

Pincang       :  Kali ini, suara itu adalah suara guruh.
Ani              :  (TERSENTAK) Apa?!
Pincang       :  (TERTAWA) Itu neng, geluduk. Biasanya itu tanda, tak lama lagi hujan turun.

(ANI KESAL. IA PERGI KETEPI BAWAH JEMBATAN, MELIHAT KELANGIT. DIACUNG-ACUNGKAN TINJUNYA BERKALI-KALI KELANGIT. SUARA GELUDUK).

Ani              :  Sialan! Ina!
Ina              :  Apa, kak?
Ani              :  Percuma dandanan!
Ina              :  Ah, belum tentu juga hujan turun.

(SUARA GELUDUK LAGI).

Ani              :  (KESAL) Belum tentu, hah! Apa kau pawang hujan? Dengarkan baik-baik: Yang belum tentu adalah –kalau hujan benar-benar turun– kita bisa makan malam ini.
Pincang       :  Sekedar pengisi perut saja. Ini juga hampir masak.
Ani              :  (TOLAK PINGGAN DI HADAPAN PINCANG) Banyak-banyak terimakasih, bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, -- bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas…
(SELAMA ANI NGOCEH TENTANG MAKANAN ENAK ITU, YANG LAINNYA MENDENGARKAN DENGAN PENUH SAYU. BERKALI-KALI MEREKA MENELAN LIURNYA.
SUARA GELUDUK. SEMUANYA MELIHAT SAYU PADA ANI).

Ani              :  (HISTERIS) Oh, tidak. Tidak! Hujan tak boleh turun malam ini. Tidak boleh!
Ina              :  (MENDEKATINYA) Sudahlah, kak. Hujan atau tak hujan, kita tetap keluar.
Pincang       :  Mana bisa. Laki-laki mana mau sama kalian kuyup-kuyup?
Ina              :  Ah, abang seperti tahu segala. Lagi, kata siapa kami bakal basah kuyup?
Kakek         :  (DENGAN SUARA DATAR) Siapa jalan di hujan, basah. Biasanya begitulah.
Ina              :  Kalau kami – oh, naik becak?
Pincang       :  Ah, jadi kalian bakal operasi dengan becak? Uang untuk ongkos becaknya, gimana?

(INA TERTAWA TERBAHAK-BAHAK).

Pincang       :  Oh, pakai kebijaksanaan dengan bang becaknya, hah?

(INA TERUS TERTAWA. ANI IKUT MENCEMOOH).

Pincang       :  (GEMAS) Becak jahanam!
Ina              :  Lho, kok jahanam?
Pincang       :  Ahh, aku sudah tahu. Pasti bang becak yang hitam itu lagi, kan?!
Ina              :  (GELI) Hitam manis, dong. Oh, jadi kau kenal dia? (TERTAWA LAGI) Kau cemburu apa?

(PINCANG TIBA-TIBA MENYEPAK KUAT-KUAT SEBUAH KALENG KOSONG DI TANAH).

Ani              :  He, sabar dikit, bang! Apa-apaan nih?! Sejak bila si Ina ini hanya milikmu saja, hah?

(PINCANG DIAM, KEMUDIAN BERSUNGUT-SUNGUT).

Ani              :  Kira-kira dikit, ya. Kau ini sesungguhnya apa, siapa? Berani-berani cemburu. Cih, Laki-laki tak tahu diuntung!
Ina              :  Ah, sudahlah, kak.
Ani              :  Apa yang sudah? Aku ingin tanya kau, hei Ina: Sejak bila kau ini tunangan resminya, atau isteri-isterinya, atau gundik-gundiknya, hah?
Ina              :  Tak pernah.
Ani              :  Mentang-mentang semua main pordeo di sini.
Pincang       :  Pordeo? Akupun punya sahamku dalam kehidupan di sini.
Ani              :  Saham? Kau hingga kini kontan mencicipi hasil sahammu yang ½ busuk semua itu. Cih, labu siam, bawang prei, beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau malah semua busuk. Dan itu kau anggap senilai dengan tubuh panas wanita semalam suntuk, hah?! Kau anggap apa si Ina ini? Kau anggap apa kami wanita ini, hah?
Kakek         :  Sudahlah. Kalau kalian tak lekas berhenti cekcok, aku kuatir nama Raden Ajeng Kartini sebentar lagi bakal disebut-sebt nanti di sini.
Ani              :  (KESAL MELIHAT KAKEK) Ayo Ina, lekasan pakai baju. Kita lekas pergi.
Kakek         :  (NADA KELAKAR) Nasi putih sepiring…
Pincang       :  (IDEM) Sepotong daging rendang, bumbunya kental berminyak-minyak…
Kakek         :  Telor balado…
Pincang       :  Teh manis panas segelas penuh…
Kakek         :  Dan sebagai penutup: sebuah pisang raja…
Pincang       :  Warnanya kuning keemas-emasan…
Ani              :  (SELESAI MENGENAKAN BAJUNYA) Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan kami nikmati malam ini. Cara apapun akan kami jalani, asal kami dapat memakannya malam ini. Ya, malam ini juga!
Ina              :  (JUGA SUDAH SIAP) Mari, kak.

(SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT).

Ina              :  (MELIHAT KE ANI) Gimana, kak?
Ani              :  Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?!
Kakek         :  Selamat bertugas! Entah basah, entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari.
Ani              :  Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh.

(ANI DAN INA DENGAN SEPOTONG TIKAR ROBEK MENUTUPI KEPALANYA, PERGI. HUJAN SEMAKIN LEBAT JUGA).

ADEGAN II


(HUJAN MASIH TURUN. SESEKALI TAMPAK KILATAN. PINCANG DAN KAKEK SEDANG MAKAN, LANGSUNG DARI KALENG MENTEGA).

Kakek         :  Nasi putih panas…
Pincang       :  (MENJILATI JARI-JARINYA) Rendang, telor… eh, apalagi katanya tadi?
Kakek         :  (TERUS MENGOREK DARI KALENG MENTEGA DENGAN JARI-JARINYA) The manis panas, pisang raja…
Pincang       :  Warnanya kuning emas. Bah!

(PINCANG MEMBANTING KALENGNYA KETANAH)

Kakek         :  (MEMBURU KALENG YANG MENTAL ITU) Ah, sayang. Masih ada.

(KAKEK MENGOREKI KALENG ITU, MAKIN, DAN MENJILATI JARI-JARINYA).

Pincang       :  Aku heran, kakek kok masih hafal semuanya itu.
Kakek         :  (TERUS MENJILATI JARINYA) Hafal apa?
Pincang       :  Rendang, telor, pisang raja segala.
Kakek         :  (TERTAWA) Lho, kenapa mesti lupa?
Pincang       :  Setelah bertahun-tahun hidup begini!

(KAKEK SELESAI MENGOREKI ISI KALENG. RUPANYA ISINYA BETUL-BETUL HABIS. KALENG DITUNGKUPKANNYA DI ATAS TUNGKU).

Kakek         :  Ada puntung?
Pincang       :  (MENGGELENG) Yang terakhir, Kakek sendiri tadi yang menghisapnya.
Kakek         :  (TERTAWA) Oh, ya.

(KAKEK DUDUK DI SAMPING PINCANG DI BETON SEMEN SALAH SATU PILAR JEMBATAN).

Kakek         :  Kini, kau dengar baik-baik. Puntung rokokmu yang kuhisap tadi siang, itu bisa aku lupa. Tapi, bagaimana aku bisa melupakan nasi panas, daging rendang, telor, pisang raja? Tidak bisa, nak. Sama seperti tidak bisanya aku melupakan ranjang kanak-kanakku dulu; melupakan bubur merahputih yang sangat kusukai, bila ibuku menyuguhkannya padaku sehabis aku sakit parah; melupakan uap sanggul ibuku sehabis mandi, kemudian melenakan aku tidur dengan cerita-cerita wayang, tentang Gatotkaca yang perkasa, tentang Dewi Sinta, tentang…

(KAKEK MENGUAP BERKALI-KALI)

Pincang       :  (TERHARU) Tidurlah, kek. Kau mengantuk.
Kakek         :  (TERTAWA, SAMBIL MENEKAN KUAPNYA) Ah, tidak. Aku seolah kembali merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan. Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri, sebagai: harga diri. Kini, aku bertanya kepadamu, nak: Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini?
Pincang       :  Semua persoalan ini tak bakal ada, bila kita bekerja, punya cukup kesibukan. Semua kenangan, harga diri, yang Kakek sebutkan tadi, adalah justru masalah yang hanya ada bagi jenis manusia-manusia seperti kita ini: tubuh, yang kurang dapat kita manfaatkan sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-gerobak.
Kakek         :  kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja.
Pincang       :  Ya, tapi tak pernah dapat.
Kakek         :  Alasannya?
Pincang       :  Masyarakat punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini.
Kakek         :  Eh, bagaimana rupanya seperti jenis kita ini?
Pincang       :  masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya.
Kakek         :  Menurut mereka, kita cuma bisa apa saja lagi?
Pincang       :  Tidak banyak, kecuali barangkali sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak mati saja, dengan batok kotor kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah.
Kakek         :  Sekiranyalah mereka tahu apa-apa kemahiran.
Pincang       :  Jangan kecualikan aku, Kek. Kakek dan aku sama-sama termasuk mereka yang setiap saat siap mempertaruhkan apa saja, asal dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan ini.
Kakek         :  Tampaknya mereka sama sekali tak sudi memberi kesempatan itu.
Pincang       :  Tampang kita saja sudah cukup membuat mereka curiga. Habis, tampang bagaimana lagikah yang dapat kita perlihatkan kepada mereka, selain tampang kita yang ini-ini juga? Bahwa tampang kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang berdarah, salah kitakah ini? Bahwa dari tubuh dan pakaian kita menyusup uap yang pesing, uap dari air kali yang butek di kolong jembatan ini, salah kitakah ini?
Kakek         :  Hukum masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan.
Pincang       :  Kalau aku memiliki stelan gabardin, dengan sepatu dari kulit macan tutul, dengan dasi sutera, dan rambutku dibelur dengan minyak luar negeri, Kakekku yang terhormat: Apakah di kolong jembatan ini masih tempatku? Apakah masih manusia gelandangan namanya aku?
Kakek         :  Ya, dimana mesti mulai, dimana mesti berakhir, bagi orang-orang seperti kita ini?
Pincang       :  Dunia gelandangan adalah suatu lingkaran setan, Kek, yang tiap hari tampaknya kian keker, kian angker juga. Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan nasib baik saja.
Kakek         :  Menanti-nantikan datangnya kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari di kolong jembatan ini.
Pincang       :  Satu per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran.
Kakek         :  Itu masih mendingan. Itu namanya, bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa kita?

ADEGAN III


(HUJAN TELAH REDA. KEMBALI JELAS DERU-DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. MASUK BOPENG DAN ATI).

Bopeng        :  Belum tidur kalian?
Pincang       :  Hm, lambat juga kau pulang kali ini.
Kakek         :  Ada puntung?
Bopeng        :  (TERTAWA) Sabar. Rokok sungguhanpun ada. Malah sebungkus utuh. Juga aku bawa nasi rames empat bungkus.
Kakek         :  Na… nasi rames? Kau kan tak merampok hari ini?
Bopeng        :  (TERTAWA) Syukur, belum sejauh itu aku perlu merendahkan diriku, Kek.
Pincang       :  Kata orang, tak yang lebih rendah lagi dari gelandangan.
Bopeng        :  (BERNAFSU) Siapa yang memompakan kepintaran itu dalam kepala kakek?
Kakek         :  (TERTAWA) Sabar, sabar! Mana itu nasi ames? Katakan, empat bungkus.
Bopeng        :  Yu, buat kalian saja. Aku, eh, kami sudah makan tadi.

(BARULAH KAKEK DAN PINCANG SADAR AKAN KEHADIRAN ATI).

Kakek         :  Ooo! Kita kedatangan tamu nih.
Pincang       :  (BATUK-BATUK) Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu?
Bopeng        :  (MARAH) Hati-hati dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu.
Kakek         :  Sudah naik kapal, barangkali.
Bopeng        :  Mungkin juga.
Pincang       :  Apa dia kelasi?
Bopeng        :  (TERSINGGUNG) Bukan kelasi saja yang boleh naik kapal.
Kakek         :  Dugaanku begini: Dia suruh anak ini menunggunya di pintu pelabuhan. Lantas dia sendiri masuk pelabuhan, kemudian dia keluar lagi dari pintu lainnya, terus kabur entah kemana.
Bopeng        :  Terhadap dugaan Kakek itu, bisa saja kuhadapkan sekian dugaan lainnya.
Kakek         :  Dugaan orangtua biasanya lebih berdasar.
Bopeng        :  Firasat atau pengalaman nih, Kek?
Kakek         :  Dua-duanya. Aku sendiri dulu eh, kelasi.
Pincang       :  (TERTAWA) Ha, dimana-mana kawin, Kek ya? Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan jani-jani setinggi langit berbaku-bakul.
Bopeng        :  (SANGAT TERSINGGUNG) Diam kau!!!
Ati              :  Ya, dia berjanji mau bawa saya kekampungnya di seberang. Katanya, ayahnya raja kopra di sana. Dia mau beri saya…
Kakek         :  Sudahlah, nak. Aku sudah mengerti. Mari kita lihat kini persoalan anak. Anak kini sudah di sini, dan kalau saya tak salah, anak tak ingin pulang kekampung dulu?
Ati              :  Malu, Kek. Kami berangkat dari sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan segala pakaian dan perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur.
Pincang       :  Ck, ck, ck. Hebat benar orang seberang itu! Eh, tapi apa benar dia dari sana?
Ati              :  Kata dia begitu.

(BOPENG HABIS SABARNYA. DITERKAMNYA PINCANG, DICEKIKNYA. KAKEK MELEPASKANNYA DENGAN SANGAT SUSAH PAYAH. ATI MENJERIT KETAKUTAN).

Kakek         :  (NAFASNYA SATU-SATU) Apa-apaan nih? Haus darah apa?
Bopeng        :  Dari tadi, dia cari fasal saja.
Pincang       :  O, apa aku harus menutup mulutku terus? Mengapa setiap ucapanku kauanggap sebagai cari fasal saja?
Kakek         :  Sudah, sudah. Mana nasi rames itu?

(ATI MENYERAHKAN BUNGKUSAN).

Bopeng        :  Mana yang dua orang lagi?
Pincang       :  Biasa, dinas.
Bopeng        :  Dinas? Dalam hujan selebat tadi?
Pincang       :  Hidung belang ada di setiap musim.

(BOPENG TERDIAM. TAMPAK IA LETIH BENAR. DIA DUDUK DI BETON DEKAT PILAR JEMBATAN. ATI TAMPAK RAGU-RAGU, TAPI KEMUDIAN DIAPUN DUDUK, DEKAT BOPENG. PINCANG DAN KAKEK DENGAN LAHAPNYA MAKAN DARI BUNGKUSAN NASI RAMES).

Kakek         :  (SANGAT BERNAFSU) Ha, ada telor.
Pincang       :  (IDEM) Dan daging rendang! Rupa-rupanya pukulanmu hari ini besar juga.
Bopeng        :  (LESU) Tak ada pukulan apa-apa, selain bahwa aku telah dapat persekotku.
Kakek         :  (BERSAMA PINCANG, KAGET) Persekot?!
Bopeng        :  (ACUH TAK ACUH) Ya, persekot.
Kakek         :  (MENDEKATI BOPENG) Jadi, akhirnya kau diterima juga?
Bopeng        :  Ya.
Kakek         :  Berarti, kau segera akan meninggalkan kami?

(BOPENG TUNDUK, TAK MENJAWAB)

Ati              :  Apa sih artinya ini semua? Diterima gimana, dan siapa yang akan pergi?
Pincang       :  Ah, jadi kau sendiripun belum diceritakannya apa-apa?
Ati              :  Aku tak diberitahu apa-apa.

(ATI MELIHAT KESAL KEARAH BOPENG)

Kakek         :  (MENUNJUK BOPENG) Dia ini tadi diterima sebagai kelasi kapal. Sudah lama dia melamar, tapi baru hari ini rupanya berhasil. Dan tadi, dia menerima persekot. Artinya, sebagian pembayaran dimuka. Itu lazim di kapal. Dan (MENELAN LUDAHNYA) dari uang persekotnya itu, dibelikannya kami rames-rames ini. (HAMPIR MENANGIS) Jelaskah sudah soalnya bagi kau?

(KAKEK BERDIRI TERHUYUNG-HUYUNG. NASI RAMESNYA TAK DAPAT DIMAKANNYA TERUS. KERONGKONGANNYA SERASA TERSUMBAT. DIBUNGKUSNYA KEMBALI NASI ITU, LALU PERGI MENJAUH KESEBELAH YANG LEBIH GELAPAN DARI KOLONG JEMBATAN).

Bopeng        :  Ini rokoknya, Kek.

(KAKEK HANYA MENGGELENG SAJA).

Ati              :  Bawalah aku, Kak!
Bopeng        :  Kemana?
Ati              :  Terserah Kakak. Pokoknya, jadi juga aku berlayar.
Bopeng        :  Pekerjaan kelasi kapal tidak mungkin berteman wanita. Jangankan kemana-mana, naik kekapal saja kau tidak boleh.
Ati              :  Sembunyikan aku dalam bilikmu.
Bopeng        :  (MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA) Orang yang dalam hidupnya telah sekian lama menjadi manusia gelandangan seperti aku ini, taklah semudah itu menginginkan kembalinya ia kedunia gelandangannya itu apabila ia sekali telah sempat berhasil meninggalkannya. Kau tak tahu, apa artinya gelandangan.
Ati              :  (MENANGIS) Aku tahu. Dan aku memang tak mau tahu. Aku hanya tahu, aku masih muda, dan bahwa akupun berhak juga akan sedikit cinta… dan sejemput bahagia.

(ATI TERISAK-ISAK. MENANGIS.
HENING. SESEKALI KEDENGARAN DERU LALU LINTAS LEWAT DI ATAS JEMBATAN).

Pincang       :  Sedikit cinta, sejemput bahagia… kesempatan untuk mengejar itu semua, setidaknya tidaklah di kolong jembatan ini, Dik.
Ati              :  (BERNAFSU) Kata siapa aku datang untuk itu kemari?
Pincang       :  (MENGERTI) Ah, jadi kalau sekiranya aku disuruh menyimpulkannya kini, maka Adik kemari ini hanyalah sekedar untuk menumpang bermalam untuk satu malam ini saja? Lalu, bagaimana besok?
Bopeng        :  Kuperingatkan kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung.

(PINCANG TEGAK DENGAN SIKAP MENGANCAM DI HADAPAN BOPENG).

Pincang       :  Kalau maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (BERTERIAK) Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan terhadapnya.

(BOPENG TERPESONA, DAN KAGUM, ATAS LAKU YANG TAK DIDUGANYA DARI PINCANG INI. IA TERDIAM, DAN TERUS SAJA DUDUK DI TEMPATNYA).

Pincang       :  (PADA ATI) Barangkali ada baiknya, bila akulah yang menceritakannya kepada Adik. Dia telah terima uang persekotnya tadi. Berarti, dia segera bakal berlayar, mungkin sudah besok. Bukankah begitu? (IA BERPALING PADA BOPENG. BOPENG MENGANGGUK) Nah, besok! Besok kita akan pamitan dari dia, mungkin untuk selama-lamanya tak bertemu lagi. Sehabis pamitan, dia menuju kelaut lepas, kami ini kembali kemari lagi, dan sisahlah lagi pertanyaan yang sangat penting artinya bagi Adik, bagi kita semuanya: Bagaimana dengan Adik sendiri?

(HENING. HANYA KEDENGARAN ATI TERSISAK-ISAK).

Ati              :  Aku mau ikut berlayar.
Pincang       :  Tidak mungkin, sudah Adik dengar sendiri tadi dari dia.

(ATI TERSEDU-SEDU).

Pincang       :  Apakah Adik tak bisa berbuat apa-apa sedikit dengan rasa harga diri Adik yang luber itu, dan tidak begitu keberatan terhadap usul saya, agar sebaiknya Adik pulang saja kesaudara Adik di kampung?
Ati              :  (MENGHAPUS AIRMATANYA) Kalaulah aku boleh bertanya: Abang sendiri, ya kalian semuanya yang di sini, mengapa kalian tak pulang saja kekampung kalian?

(PINCANG TERDIAM. LAMA IA BERTUKAR PANDANGAN DENGAN BOPENG).

Bopeng        :  (MERENUNG) Yah, mengapa kita sendiri tak pulang saja kekampung kita masing-masing?

ADEGAN IV


(TERDENGAR BUNYI LONCENG BECAK. MASUK INA, SENDIRIAN, MENENTENG BUNGKUSAN. IA TAMPAKNYA GIRANG).

Pincang       :  Hai, Ina.
Bopeng        :  Mana Ani?
Ina              :  Kak Ani takkan datang kemari lagi. Dia telah bernasib baik. Babah gemuk yang selamanya ini jadi langganannya, tadi di Seksi Polisi berkata, bakal mengawini Kak Ani. Dan Kak Ani setuju.
Bopeang      :  Lho, kenapa di Seksi Polisi?

(INA MENYERAHKAN BUNGKUSANNYA KEPADA KAKEK YANG MUNCUL DARI TEMPATNYA YANG GELAP. INA KINI MELIHAT ATI).

Ina              :  Ah, ada penghuni baru? Seperti tahu saja, Kak Ani tak pulang lagi kemari. (PADA BOPENG) Punya Abang?
Pincang       :  Dia tamu semalam kita di sini. Besok dia kembali kekampungnya.
Ina              :  Sowan nih? Pada siapa? (MELIHAT TERUS PADA BOPENG)
Kakek         :  (MEMERIKSA BUNGKUSANNYA) Nasi rames lagi! Dan daging rendang. Ya Allah, juga telor! Dan ini, pisang raja sesisir! Ada-ada saja si Ani!
Ina              :  Kak Ani cuma mau penuhi janjinya saja pada kalian.
(KAKEK MENGAMBIL BUNGKUSAN NASI RAMESNYA YANG TAK HABIS TADI DARI POJOK).

Kakek         :  Nih, tadi juga sudah nasi rames. Juga rendang, telor…
Ina              :  (HERAN) Dari siapa?
Pincang       :  (MENUNJUK PADA BOPENG) Dia kawul tadi. Besok dia berlayar.
Ina              :  (TERKEJUT) Berlayar? Jadi, Abang telah diterima?

(BOPENG MENGANGGUK. INA MEMELUKNYA GIRANG).

Ina              :  Aku sangat gembira, Bang. Untuk Abang, untuk kita semuanya. Besok benar-benar Abang berlayar?
Bopeng        :  Kalau tak ada halangan apa-apa lagi. Sebelum tengah hari besok, aku sudah harus di kapal. Sore-sore, berlayar.
Ina              :  (MASIH GIRANG) Kemana, Bang?
Kakek         :  Adakah pertanyaan itu masih penting lagi sekarang? Pokoknya, berlayar! Pergi, jauh-jauh dari sini. Tiap tempat lainnya, pastilah lebih baik dari kolong jembatan kita ini.
Bopeng        :  Coba teruskan dulu ceritamu tentang Ani tadi.
Ina              :  Oh, ya. Tapi, mengapa tak ada kalian yang tampaknya mau memakan oleh-oleh dari Kak Ani ini?
Kakek         :  (TERTAWA) Entah apa rencananya Dewa-Dewa dengan mengirimkan dua kali dalam semalam ini makanan dari jenis yang sekian tahun belakangan ini memimpikannyapun kita, sebagai orang gelandangan, tak berani. Tiba-tiba, malam ini, bintang-bintang di langit, dan rupanya juga roh nenek moyang kita, ingin berseloro dengan kita. Dan sekedar untuk melengkapkan unsur bergurau itu pada pengalaman aneh kita malam ini, selera kita sedikitpun tidak terangsang! Sebab, berkah besar ini secara kontan harus kita bayar dengan berita akan berlayarnya dia (MELIHAT PADA BOPENG) besok sudah, dan dengan berita lainnya tentang Ani yang tak bakal kemari-kemari lagi. Perasaanku pribadi, entah bagaimana kalian, adalah persis seperti aku beroleh makanan enak-enak dulu sebelum aku digiring ke tiang gantungan.
Bopeng        :  (TERTAWA) Ah, Kakek ada-ada saja. Apa ya separah itu?
Kakek         :  Kelengangan disebabkan perpisahan, terkadang lebih parah dari kematian sendiri. Mengapa pula kita, manusia-manusia gelandangan, berbuat seolah tak mengerti hal itu?

(LENGANG. HANYA SUARA HALILINTAR DI ATAS JEMBATAN SESEKALI KEDENGARAN)

Ina              :  (DUDUK) Sekeluar kami berdua tadi dari sini, kebetul;an bang becak, kenalan kami selama ini, lewat.
Pincang       :  (MENYERINGAI) Hmm, kebetulan. Sudah tentu dia sudah sejak lama menantikan kalian.
Bopeng        :  (PADA PINCANG) He, mengapa kamu ngos-ngosan begitu?
Pincang       :  Apa kau tak tahu, bahwa mereka dengan bang becak itu selama ini membentuk suatu usaha, namanya “Becak Komplit”?
Kakek         :  Seingatku, di restoran yang besaran dikit, kita bisa pesan apa yang disebut “Biefstuk Komplit”.
Bopeng        :  Baru-baru ini ada ditulis di koran tentang “Patriot Komplit”.
Kakek         :  (GELI) Semuanya makin serba komplit, tapi rasanya kok seperti makin serba kurang saja!
Bopeng        :  Becak komplit itu apa?
Pincang       :  Becak, komplit dengan wanitanya, untuk plesir. Malah, bang becaknya telah komplit mengatur dimana tempat plesirnya, sewanya, ongkos angkutannya, dst, dst. Pokoknya, selesai semuanya, sang tamu membayar biaya komplit.
Kakek         :  Seingatku – dari masaku dulu sebagai kelasi – pembayaran serupa itu namanya “all in”. Semuanya sudah termasuk: ya ongkos hotelnya, ya ongkos makan-makan dan mabuk-mabuknya, ya ongkos plesirnya dengan wanitanya, ya ongkos taksi besok paginya yang harus mengantarkan kita pulang kekapal di pelabuhan – tidak terlambat!
Bopeng        :  Siapa yang menerima semua pembayaran itu?
Pincang       :  Kan sudah dikatakan tadi, bang becaknya. Saham dia yang terbesar. Oleh sebab itu, dia yang menentukan berapa yang boleh diterima siwanita.
Bopeng        :  Adil nggak dia?
Pincang       :  Bergantung bagaimana bang becaknya. Tapi, jangan lupa, kadang-kadang dagangannya tak laku. Walaupun dia sudah putar-putar kayu beberapa kali. Dalam hal yang demikian, bang becak sering beri pinjaman pada siwanita. Kalau dia sendiri tak punya, nah melarat.
Bopeng        :  Itu lumrah.
Pincang       :  Tapi, ada kukenal bang becak yang jadi kaya raya dengan usaha seperti itu. Dia punya hubungan sekaligus dengan sepuluh sampai duapuluh wanita. Dan dia punya hubungan rapat dengan pelayan-pelayan hotel. Dia jadi semacam loveransir plosiran. Dia sudah punya mobil, dirikan rumah gedung di kampungnya, malah baru-baru ini mendirikan lagi sebuah yang mentereng di kota ini. Kabarnya, bulan depan dia bakal naik haji.
Ati              :  Wah, dari uang lendir.
Pincang       :  Dari uang lendir atau bukan, pokoknya dia bisa naik haji. Pulang dia nanti dari sana, dia berhak pakai sorban – kalau dia mau. Nah, haji sungguhankah dia, atau tidak?
Ati              :  Jijik, ah.
Pincang       :  Jijik atau tidak jijik, najis atau tidak najis, ya lendir atau tidak lendir, dia adalah Haji Anu, titik.
Ati              :  Apa tidak ada peraturan yang bisa melarang orang seperti itu pergi ketanah suci?
Bopeng        :  Kukira, tidak pantas melarang orang yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau lendir, itu semata-mata urusan lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan dengan panitia haji. Kukira, Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk soal lendirnya, dia terang berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat kebaikan dan pahal. Mana yang lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu. Jelas itu tak dikatakan-Nya pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita mesti ikut-ikutan mengadili bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita ini? Kalau kita bertemu dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak Haji? Dan apakah rokok yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya oleh karena hati kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari uang lendirnya? Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan kunikmati. Dan bila tidak, rokok itu dilemparkan kejalan. Titik. Demikianlah aku memandang persoalannya.
Kakek         :  Persis pandangan seorang jagal sapi: ini daging ya masuk; ini lemak dan tetelan, ya masih bisa masuk; tapi ini apa? Daging bukan, lemak bukan, tetelan bukan? Yah, lempar masuk tong sampah. Tidak ada tempat buat usus, babat…
Bopeng        :  Ah, kita ini sudah lewat ngelantur. Ina, bagaimana ceritamu tadi tentang Ani seterusnya?
Kakek         :  Hmm, apa masih ada lanjutannya? Kukira…
Ina              :  Kak Ani tadi rupanya sudah ditunggu langganannya, itu babah gemuk yang punya pabrik mi.
Bopeng        :  Langganan?
Ina              :  Ya, sudah hampir tiga bulan mereka berkenalan dan terus langganan. Babah itu demen betul sama Kak Ani. Katanya, Kak Ani persis betul menyerupai isterinya almarhumah.
Bopeng        :  Inna Lillaah!
Ina              :  babh itu sudah lama minta Kak Ani supaya mau kerja padanya.
Bopeng        :  Lho, kok kerja?
Ina              :  ya, kerja. Katanya, sekedar mengurus dia dengan anak-anaknya saja.
Bopeng        :  Berapa anaknya?
Ina              :  Kalau tak salah, enambelas.
Bopeng        :  Enambelas? Ampun, mati si Ani!
Ina              :  Dan disamping itu, yah kerja rumah tangga biasa lainnya.
Kakek         :  (MENJERIT) Babu Komplit!

(PINCANG DAN BOPENG MELEDAK TERTAWA. INA MELIHAT KESAL PADA MEREKA).

Kakek         :  Dan itu namanya: sekedar. Wah, pintar juga si babah.
Pincang       :  Babah-babah biasanya memang pintar-pintar.
Kakek         :  Di koran, ini mah namanya: Eksi… eksle… apa sih namanya? Pokoknya, di belakang nyusul kata-kata: delomparlom.
Bopeng        :  (TERTAWA) Gitulah, kalau hanya membaca sobekan-sobekan koran saja. Itupun, yang kebetulan diterbangkan angin saja kepinggir jalan-jalan, dan sambil lalu kita pungut dan baca. Kek, apa kira-kira arti kata-kata yang Kakek ucapkan tadi?
Kakek         :  Kalau tak salah: Manusia dihisap manusia.
Pincang       :  Jempol!
Kakek         :  Eh, jangan anggap enteng seorang bekas kelasi, ya.
Pincang       :  (GELI) calon kelasi gimana?
Kakek         :  (MELIRIK PADA BOPENG) Dia adalah makhluk paling bahagia.
Bopeng        :  Teruskan ceritamu, Ina.

(KAKEK MEMBUNGKUK ARAH INA, GELI).

Ina              :  Singkatnya: Ketika mereka sedang eh…
Pincang       :  (NYELETUK) … pelesir…
Ina              :  Ya, eh… di tempat mereka yang biasa, tiba-tiba ada razzia!
Pincang, Bopeng, Kakek            : (SEREMPAK) Razzia?!!
Ina              :  Ya, razia oleh polisi. Kami yang sedang menanti di luar, sempat lari. Kak Ani dan si babah tertangkap basah. Mereka kami lihat digiring ketruk terbuka, bersama sekian banyaknya lagi, laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan yang sudah-sudah, kami menduga mereka tentulah dibawa ke Seksi Polisi. Lalu kami kesana.
Bopeng        :  Maksud kalian?
Ina              :  Bang becak mau menerangkan pada polisi, dia adalah suami dari Kak Ani.
Bopeng        :  Hah? Sejak bila?
Ina              :  Hanya dengan jaminan dari seorang suami saja, wanita yang kena dirazia begitu bersedia polisi melepaskannya.
Bopeng        :  Ya, tapi sejak bila bang becak itu suami si Ani?
Ina              :  Bang becak komplit punya surat-surat kawinnya.
Pincang       :  Itu termasuk servis dalam perseroan mereka “Becak Komplit” itu.
Bopeng        :  Aha, suami sekedar buat keadaan darurat saja!
Kakek         :  (MENJERIT) Suami razia!!
Ina              :  (TAK MENGHIRAUKAN CEMOOHAN KAKEK) Tapi, kali ini bang becak itu tidak perlu lagi menawarkan jasa-jasa baiknya. Di depan polisi, si babah meminang Kak Ani, dan di depan polisi, Kak Ani berkata iya.

(BOPENG + PINCANG + KAKEK SERENTAK TERCENGANG).

Ina              :  Dan aku sangat gembira atas putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan sekalipun, entah memang dia licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam pertimbangannya, tapi setidaknya mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan tetap, punya alamat tetap, ya… (MENANGIS) punya kartu penduduk tetap!

(HENING. SEMUANYA TERKESAN DAN TERHARU).      

Ina              :  (MENYEKA AIR MATANYA) Dan aku sendiripun sekarang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun… (TERISAK) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri. Aku telah terima lamaran bang becak itu.
Pincang       :  (KAGET) Bang becak itu?
Ina              :  (MENYEKA AIR MATANYA) Aku tahu, Abang (MELIHAT PADA PINCANG) sudah lama tidak menyukai bang becak itu. Tapi Bang, sekiranyalah aku menyerahkan diriku dan nasibku seterusnya padamu, apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong jembatan ini?
Pincang       :  Kata siapa, aku terus-terusan akan begini, dan di sini ini?
Ina              :  Abang selama ini telah banyak bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita dan bahagia. Tapi, aku sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh ingin menebus kata-kata itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku memang selalu mengagumi ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan kata-kata, dengan mana Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain. Bermalam-malam aku, tergolek di samping Abang (SUARA BATUK-BATUK KAKEK), melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.
                      Tapi, dengan hati yang pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua ucapan Abang itu bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri Abang semacam kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang gamang berbuat sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan asing sekali di bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula masih ada harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan diri Abang sebagai seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat, betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit…
                      Dan bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar, apa dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang sudah teruk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi, itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! (MENANGIS) Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka keneraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian kita dengan sendirinya berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar lagi di tempat-tempat seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku mengharapkan tidurku bisa nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun, basah kuyup oleh keringat dingin.

(KEDENGARAN LONCENG BECAK BERKALI-KALI. MUKA INA SEKETIKA BERUBAH. IA BERDIRI, DAN MELEPASKAN PANDANGANNYA PELAN-PELAN KESELURUH PELOSOK DARI KOLONG JEMBATAN).

Ina              :  Barang-barangku kutinggalkan semuanya di sini. Pakai, bila berguna bagi kalian. Buang, bila tidak. (LONCENG BECAK LAGI. DIA TERSEDU-SEDU. DIPELUKNYA BOPENG) Selamat tinggal, dan selamat belajar, Bang. Semoga… (IA TAK DAPAT MENERUSKAN) Maafkan, bila ada kata-kataku dan perbuatan-perbuatanku selama ini yang salah, Bang.
Bopeng        :  (SANGAT TERHARU, DENGAN SUARA SERAK) Akupun demikian terhadapmu, Ina.
Ina              :  (PADA KAKEK) Kek! Ah, semoga kita tidak pernah bertemu lagi.
Kakek         :  (TERTAWA) Begitu bencinya kau padaku, Ina?

(INA MENGGELENG. DIDEKAPNYA KAKEK, MENANGIS TERSEDU-SEDU).

Kakek         :  (SERAK) Aku berharap, suatu hari dapat melihat kau lewat, naik becak suamimu, kau dan anak-anakmu sehat dan montok-montok. Selamat jalan, Nak.
Ina              :  (TERTEGUN DI HADAPAN PINCANG) Dan kau, Bang. Selamat tinggal. Aku harap, kau dapat memahami dan memaafkanku.

(PINCANG MENGANGGUK-ANGGUK KECIL. IA TAK DAPAT BERKATA APA-APA).
(KEMBALI BUNYI LONCEN BECAK. TAK SABAR).

Kakek         :  (TERTAWA) Wah, laki-laki tak sabaran juga rupanya. (PADA INA) Lekaslah, Nak. Nanti suamimu kabur!

(INA TERTAWA. KEMUDIAN IA MELIHAT ATI, DAN DIHAMPIRINYA).

Ina              :  Dan akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. Kalaulah boleh aku memberi hanya satu nasehat saja padamu: Pandanglah kami satu persatu yang di sini ini. Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan ini. Dik, besok pagi, pulanglah lempang-lempang kekampungmu. (DIBUKANYA SAPU TANGANNYA) Nih, ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu dan bekal di jalan, cukup jugalah. (ATI MENERIMANYA) Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat kau menghirup iklim gelandangan ini. Sekali kau menghirupnya, kau tak dapat lagi melepaskan dirimu dari lilitan-lilitan guritanya.
Bopeng        :  (TERSADAR) Ya, dan agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu, maka pada si Pincang kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang pergi, biarlah aku yang tanggung. (MENGAMBIL UANG DARI SAKUNYA, DIBERINYA PADA SI PINCANG) Nih, sisa persekotku tadi. (TERTAWA) Biarlah, aku toh tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang.

(LONCENG BECAK LAGI. BERKALI-KALI AGAK KERAS).

Ina              :  (MELIHAT KEARAH DATANGNYA BUNYI LONCENG BECAK) Selamat tinggal, Erte-Nol/Erwe-Nol ku… (MATANYA BERLINANG-LINANG)

(INA LARI MENINGGALKAN KOLONG JEMBATAN, SAMBIL MENGHAPUS-HAPUS AIR MATANYA. TAK BERAPA LAMA KEMUDIAN, KEDENGARAN LONCENG DARI BECAK YANG BERANGKAT).

ADEGAN V


(KEDENGARAN SESEKALI DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. BUNYI-BUNYI MALAM DARI JANGKRIK, KODOK, DLL, DI BAWAH JEMBATAN).

Ati              :  (SETELAH LAMA HENING) Mengapa Abang ini harus pulang pergi mengantarkan aku?
Kakek         :  (CURIGA) Apa maksudmu?
Ati              :  Eh, apa salahnya dia tinggal sambil istirahat sebentar di kampungku. Siapa tahu, di sana ada kerja yang cocok untuknya.
Kakek         :  (SETELAH MENYENGGOL PINCANG KERAS-KERAS DENGAN SIKUNYA DI SAMPING) Akur! Aku setuju banget, dia tinggal dulu sekedar istirahat di sana, asal saja orang tuamu setuju di sana, sudah tentu.
Ati              :  Kukira orang tuaku setuju di sana.
Kakek         :  (GIRANG) Hore! Dengan kaki pincangnya, setidaknya dia masih bisa kerja…
Ati              :  Di sawah.
Bopeng        :  (GIRANG) Horee! Dan eh, siapa tahu, setelah orang tuamu melihat bakat-bakat petaninya, siapa tahu dia barangkali juga punya harapan untuk diangkat sebagai… eh, sebagai menantu!
Ati              :  (MERAH MUKANYA) Siapa tahu.
Pincang       :  (KAGET) Apa? Menantu?
Kakek         :  (GELI) Apa ya kau tak punya tenaga apa-apa lagi untuk menjadi seorang menantu, hah?
Pincang       :  Menantu siapa?
Kakek         :  Alaa, masih ingat kau kata-kata Ina tadi untuk kau? Nah, kukira sudah tiba saatnya bagimu kini, terlebih pada usiamu yang begini, untuk mencamkannya baik-baik. Jangan bingungkan dirimu lebih lama lagi dalam kerangka-kerangka kata-katamu yang mengawang itu. Mulai sekarang, rebut! Dan reguklah! Kesempatan segera ia nongol di hadapanmu. Berbuatlah! Bertindaklah! Bukankah begitu kata Ina tadi? Jadi, besok pagi, subuh, kau bersama dia ini kestasiun kereta api. Antar dia baik-baik sampai di rumah orang tuanya. Selebihnya, mainkanlah perananmu sebaik-baiknya, seperti yang telah kita goreskan tadi. Kalau kau belum apa-apa bakal ditendang oleh bakal mertuamu dari sana, maka benar-benar patokkanlah sejak itu dalam kepalamu: Nasibmu, kawan, untuk selama-lamanya bakal runyam! Dan ini adalah sebagian besar karena salahmu sendiri. Malaikat-malaikatpun kukira takkan dapat lagi menolongmu.

(PINCANG NAMPAK BINGUNG OLEH KATA KAKEK TADI. TAMPAKNYA IA INGIN MERONTA, TAPI LAMBAT LAUN KATA-KATA KAKEK ITU MERESAP JUGA KEDALAM SANUBARINYA).
Kakek         :  (SETELAH LAMA HENING) Kukira, malam ini kita semuanya terlalu penuh dengan perasaan kita masing-masing, sehingga pastilah kita tidak mungkin akan dapat tidur. Tapi, baik jugalah bila kita namun bisa istirahat. Malam telah larut juga, sedang matahari besok pagi sudah mengantar beberapa dari kita ketempat yang jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar. Mari kita mengumpul tenaga, agar langkah-langkah yang bakal kita ambil besok tidak terhuyung-huyung, tapi tegap-tegap dan tepat pada tempatnya. (MENGUAP PANJANG) Selamat beristirahat! (MENJENTIK BOPENG DI LENGANNYA) Sstt, biarkan mereka. Kita kesana saja… (MENUNJUK DENGAN WAJAHNYA KEPOJOK KOLONG JEMBATAN SEBELAH SANA)
Bopeng        :  (MENGERTI TERTAWA) Oh, ya. Eh, mengapa aku begitu bodoh.

(ATI MALU-MALU TERSIPU. MALU-MALU KUCING. TIBA-TIBA PINCANG TEGAK LURUS, SIKAPNYA SEPERTI MAU BERONTAK).

Pincang       :  Tunggu dulu! Kalian mau kemana, hah! Apa maksud-maksud gelap kalian?
Bopeng        :  (TERTAWA) Ah, cuma maksud baik saja.
Pincang       :  (BERTERIAK) Tidak! Aku tidak mau!
Kakek         :  Tidak mau apa?
Pincang       :  Maksudku, aku tidak mau mulai dengan cara yang kalian anjurkan tadi secara diam-diam itu. Bila benarlah nasibku akan menempuh jalan seperti yang kalian reka-reka tadi, entah kalian sungguh-sungguh tadi entah cuma ingin memperolok-olok aku saja untuk kesekian kalinya…
Bopeng        :  Ya Allah! Siapa yang berolok-olok?
Pincang       :  (SUARANYA MENINGGI) Baik! Bila benarlah kalian mengkhendaki aku memulai hidup baru, seperti anjuran kalian tadi, demi Tuhan! Mengapa kalian tak memperbolehkan aku memulainya dengan baik?
Kakek         :  Siapa mau menyuruh kau mulai dengan tidak baik?
Pincang       :  BERNAFSU) Kalian! Barusan! Dengan anjuran kalian yang tidak senonoh tadi!
Bopeng        :  Tidak senonoh?
Pincang       :  Ah, pura-pura lagi. Apa maksud kalian berdua tadi dengan pindah kepojok sana, dan membiarkan kami berdua di sini?

(BOPENG DAN KAKEK MELONGO SEBENTAR, KEMUDIAN MELEDAKLAH TAWA MEREKA).

Bopeng        :  Maaf, maafkanlah kami. Syukur, kalau kau memang benar-benar mau mulai baik sekarang.
Pincang       :  Ya, aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih. Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja.  Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. (SUARANYA TURUN, NAFASNYA SATU-SATU) Sudah tentu, sudah tentu… kalian berhak menolak lamaranku…

(HENING. SEMUANYA TERKESAN OLEH KATA-KATA PINCANG. KAKEK DAN BOPENG LAMA TERHARU MELIHAT PADANYA. KEMUDIAN, TERHUYUNG-HUYUNG, KAKEK MENDEKAT PADA SIPINCANG, KEMUDIAN DIPELUKNYA. AKHIR SEKALI, ATI MERABA-RABA TANGANNYA. PUN IA TERSEDU, TAPI SEDU SEDANNYA ADALAH CAMPURAN YANG KHAS DARI KEHARUAN DAN BENIH-BENIH PERTAMA DARI TUMBUHNYA SUATU RASA KEKAGUMAN DAN CINTA KASIH YANG MURNI… JARI-JARI PINCANG DIGENGGAMNYA, DAN PELAN-PELAN DICIUMNYA).
(SETELAH ADEGAN HARU DAN KASIH INI LEWAT, KAKEK TAMPAK KEMBALI KETEMPAT NYA SEMULA. IA KELIHATAN NGANTUK SEKALI).
Kakek         :  (MENGUAP PANJANG) Ah, benar-benar ngantuk aku nih. (KEPADA ATI) Begini saja, Nak. Aku golek-golekan di sini, kau boleh duduk dekatku, eh… menjagai aku.

(ATI DATANG DUDUK DEKAT KAKEK YANG SUDAH MEREBAHKAN DIRINYA).

Kakek         :  (PADA BOPENG DAN PINCANG) Dan kalian tak salahnya, jaga istirahat. Tidurlah, kalau memang betul bisa tidur. Ingat, acara kalian besok sungguh banyak… (MENGUAP PANJANG LAGI)

(BOPENG DAN PINCANG TAMPAK PERGI KEPOJOK SEBELAH SANA DARI KOLONG JEMBATAN, DAN MEREBAHKAN DIRINYA DI SANA. HANYA ATI SAJA YANG MASIH DUDUK, DEKAT KAKEK.
SUARA-SUARA MALAM DI KOLONG JEMBATAN, SEPERTI JANGKRIK-JANGKRIK, KODOK-KODOK BERSAHUTAN. KEDENGARAN AIR SUNGAI DI BAWAH JEMBATAN ITU MENGALIR. DI ATAS JEMBATAN SESEKALI LALU LINTAS TERDENGAR MENDERA).

Ati              :  kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek.
Kakek         :  (TETAP REBAH, SUARANYA MENGANTUK) Aku? Mau kemana aku?
Ati              :  Ikutlah kami besok kekampungku, Kek.
Kakek         :  Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi?

(BOPENG DAN PINCANG TERDUDUK MENDENGARKAN KATA-KATA KAKEK INI. MEREKA TAMPAKNYA SANGAT TERKESAN).

Ati              :  Justru oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya.
Kakek         :  Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku. (KEMBALI MENGUAP) Pada diriku,  semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat malam…

(TAMPAKNYA ATI MASIH MAU MENJAWAB SESUATU. TAPI BOPENG MENARUH TELUNJUKNYA PADA BIBIRNYA, ISYARAT AGAR ATI SEBAIKNYA DIAM SAJA SETERUSNYA. ATI MELIHAT SAYU PADA KAKEK YANG SUDAH TERTIDUR, DENGAN NAFAS BERATURAN. IA MENANGIS. KEMUDIAN DISELIMUTKANNYA SELENDANG KECILNYA PADA KAKEK. RAMBUT PUTIH KAKEK DIBELAINYA, SAMBIL MENYEKA AIR MATANYA. DILIHATNYA BOPENG DAN PINCANG TELAH KEMBALI MEREBAHKAN DIRINYA, TIDUR. PINCANG MALAH MENDENGKUR. ATI TERTAWA GELI.
TAK LAMA KEMUDIAN, ATIPUN MEREBAHKAN DIRINYA DI SAMPING KAKEK.
TERDENGAR DERU SEBUAH MOBIL LEWAT DI ATAS JEMBATAN. KEMUDIAN LONCENG BECAK. ATI MEMBALIKKAN TUBUHNYA. DI JAUHAN, SEEKOR ANJING MENYALAK PANJANG. ATI MENARIK NAFAS PANJANG).

LAYAR TURUN PELAN-PELAN


Bandung, April 2002
Ocky Sandra_97@org.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar